Sunday, May 25, 2008

Kiat Aman Bermain BMX Street dan DJ

Foto: Internet

Bisa terbang dengan bantuan sepeda tentu mengasyikan. Namun demi mewujudkan itu, diperlukan sejumlah latihan dasar.

Pernah merasakan “terbang” menggunakan sepeda Bicycle Motocross (BMX)? Jika belum, berarti Anda harus mencoba permainan BMX Street atau Dirt Jump (selanjutnya ditulis BMX Street). Jenis permainan ini menuntut kepiawaian pesepeda dalam melompati sebuah rintangan, serta dilengkapi dengan sebuah trik. Umumnya rintangan itu meliputi: tabletop, double jump, atau jump box. Lewat rintangan itu, rider akan melompat tinggi, seolah-olah terbang. Biar terbangnya sempurna, aplikasikanlah trik terbang seperti superman.

Namun, kalau Anda tertarik dan ingin menseriusinya, hal utama yang mesti diterapkan adalah sebuah latihan dasar. “Sebelum main BMX Street atau Dirt Jump, seorang pemula harus paham dulu jenis permainan ini,” ujar Asep Tubagus, pemain BMX Street. Selanjutnya, menurut Apep sapaan akrabnya, rider pemula harus membentuk kekuatan tangan dan kakinya. Pembentukan kekuatan tangan dan kaki bertujuan untuk menahan goncangan saat sepeda di udara, landing atau jatuh ke tanah.

Bukan hanya tangan dan kaki saja yang perlu “diasah” agar Anda menjelma sebagai dirtjumper. Ada latihan lain yang mesti dipelajari. Jelasnya, berikut resep latihan singkat dari anak-anak BMX Street B2ST Bandung, Apep dan Reza Aqmal Faizal (Esa).

Melatih Kekuatan Tangan
Dalam mempelajari permainan sepeda BMX Street, kekuatan tangan sangat mutlak dilatih. Fungsi kekuatan tangan itu nantinya terasa saat Anda memegang kemudi (handlebars). Bila tangan Anda kuat, penguasaan atau kendali sepeda saat di udara maupun di darat akan stabil.

Untuk memenuhi syarat itu, rutinlah push up dan pull up. Berlatihlah setiap hari di waktu senggang Anda. Atau kalau Anda punya barbel, angkatlah beban itu berulang-ulang. Cara lainnya yang tergolong ekstrem, menurut perwakilan Juri Indonesia di Asian Indoor Games itu adalah turun gunung (downhill). Dengan melalui jalan off road yang berbatu, tangan dilatih untuk menjaga keseimbangan sepeda. Getaran yang dihasilkan lewat jalur off road akan membiasakan Anda memegang kuat handlebars.

Melatih Kekuatan Kaki
Kaki dilatih untuk menjaga keseimbangan tubuh saat mengayuh sepeda. Tujuan lainnya untuk mengatur kecepatan sepeda saat hendak melewati rintangan. Bila jarak antara start dan rintangan pendek, di situlah Anda dituntut memperoleh speed guna menghasilkan lompatan tinggi.

Cara melatih kaki terbilang sederhana dan mudah. Apep hanya menyarankan untuk menggenjot sepeda sesering mungkin. Makin seringnya Anda menggowes sepeda, kekuatan kaki perlahan-lahan akan timbul. Namun kalau menurut Anda itu bisa membosankan, olahraga jogging juga cukup membantu melatih kaki dan fisik tentunya.

Melatih Keluwesan Tubuh
Pemain BMX Street dituntut memiliki keluwesan tubuh. Itu berguna begitu Anda berada di udara mengaplikasikan gaya freestyle. Trik yang hendak Anda keluarkan itu nantinya akan terlihat lembut dan indah. “Kalau sudah terbang kelenturan tubuh akan memperindah trik kita. Dan biar kelihatan cool,” ujar Esa, Juara 3 Dirt Jump Asian Championships 2007 di Bali.

Cara melatihnya dengan mulai menumbuhkan keberanian di arena sesungguhnya. Namun sebaiknya dimulai dengan melewati rintangan berupa tabletop pendek. “Body protector wajib dikenakan saat mulai berlatih di trek,” saran Esa.

Sebagai pemula, belajarlah trik dasar dulu. Di Indonesia sendiri sudah banyak trik dasar yang diadopsi dari luar. Misalnya: table top dan x-up. Rutinlah menerapkannya. “Yang terpenting seorang pemula harus fokus dengan satu trik dulu,” kata Esa.

Berlatih Cara Jatuh yang Baik
Dalam mempelajari permainan BMX Freestyle, resiko jatuh pasti ada. Namun supaya insiden itu tidak fatal dan berbahaya, Apep punya sedikit tips berlatih. Menurutnya, begitu Anda mencoba mengeluarkan satu trik buruk, dan bakal jatuh, sebaiknya jangan menahan beban tubuh Anda dengan tangan atau kaki. Ikutilah pergerakan jatuh Anda itu dengan berguling ke depan maupun ke samping. Tergantung arah jatuhnya.

Dan sebisa mungkin saat jatuh jangan bersama sepeda. Buanglah sepeda sesegera mungkin,” timpal Esa. “Tapi sebaiknya tetap gunakan protector saat berlatih.” Selamat berlatih.

Friday, May 23, 2008

Laura, satu perempuan cantik yang memberi "stempel" di pipi pemegang jersey merah muda Giro d'Italia 2008.
Sedikit petikan wawancara dikutip PezCycling News:

Berapa usia Anda?
25 tahun

Anda selalu berkerja sebagai podium girls di sini?
Tidak. Saya seorang model. Saya sudah bekerja di bidang ini selama 10 tahun. Saya biasa memeragakan pakaian bikini (lingerie)

Bagaimana perasaan Anda berada di podium?
itu mengagumkan. Saat berada di situ semua orang melihat saya.

Apakah pekerjaan ini sama dengan peran sebagai model?
Berbeda. Di sini saya dipersiapkan untuk mengikuti event setiap hari. Sebagai model (lingerie), hanya dipersiapkan saat event.

Hadiah Indah Sang Pemenang

Kejuaraan Giro d’Italia 2008 menyimpan sebuah momen menarik. Selama tiga pekan mengamati situs berita, bikeradar.com, pandangan mata saya selalu menatap foto dua perempuan cantik sedang mencium sang juara etape. Bibir dua orang podium girls itu mencium pipi pemenang etape secara bersamaan. Siapa saja yang mendapat hadiah indah itu? Lihat fotonya di bawah ini. Dan perhatikan bibirnya. It's very sexy

Daniele Bennati di Etape 12

Allessandro Bertolini di Etape 11

Giovanni Visconti mendapat ciuman selama masih memimpin klasemen

Mark Cavendish di Etape Keempat

Pevel Brutt di Etape Kelima

Riccardo Ricco

Thursday, May 22, 2008

Gelar Ketiga Bennati

AFP Photo

Visconti Tetap Pemimpin Lomba Giro d'Italia

Perburuan gelar juara etape 12 Giro d’Italia 2008, Kamis waktu setempat, berlangsung alot. Pihak penyelenggara sampai menentukan siapa yang juara dengan melihat foto finis. Dua pembalap yang terlihat di foto itu, Daniele Bennati dan Mark Cavendish nampak hampir bersamaan menyentuh garis finis. Namun, panitia menentukan Bennati menyentuh finis terlebih dahulu, baru disusul Cavendish. Pembalap Italia dari Tim Liquigas itu pun dinobatkan sebagai juara untuk ketiga kalinya.

“Cavendish adalah seorang sprinter di 100 hingga 50 meter,” ujar Bennati, berusia 27 tahun, mengomentari dekatnya persaingan menjelang finis di etape ini. “Ia membuat sebuah sprint yang besar, terlebih di usianya (23 thn) yang sangat muda. Itu menunjukan ia bakal menjadi sprinter terkuat di dunia.”

Cavendish yang membela Tim High Road mendominasi lomba di 10 kilometer akhir. Masuk di putaran akhir, Bennati mengejar dan siap memburu gelar juara bersama Robbie McEwen dan Cavendish. Adu sprint terjadi diantara ketiga pembalap ini. Namun, menginjak beberapa meter menjelang finis, yang terlihat adu sprint di depan hanya Cavendish bersama Bennati.

“Tim sudah bekerja sangat baik, tapi Bennati memiliki 10 meter bersama saya untuk keluar,” ujar Cavendish, pembalap berkebangsaan Inggris Raya ini mengakui keungulan Bennati.

Hasil etape ini yang memulai lomba dari Forli menuju Carpi berjarak 172 kilometer, masih menobatkan Giovanni Visconti sebagai pemegang jersey merah muda (maglia rosa). Disusul kompatriotnya Gabriele Bosisio dari LPR Brakes dan juara Tour de France 2007, Alberto Contador dari Tim Astana.

Rekan setim Visconti dari Quick Step terus membantu pimpinan lomba ini memasuki 10 kilometer menjelang akhir. Visconti sedang dalam masa pemulihan dari kasus tabrakan di etape kemarin menuju Cesena. “Rasa sakit di akhir lomba tidak banyak seperti kemarin,” ujar pembalap berusia 25 tahun ini asal Italia.

Wednesday, May 21, 2008

Visconti Pertahankan Jersey Merah Muda

Giro d'Italia 2008

Rasa sakit yang dialami Giovanni Visconti sepanjang etape 11 Giro d’Italia tidak menyurutkan semangatnya untuk terus berjuang mencapai finish. Dengan dorongan rekan setimnya: Paolo Bettini dan Andrea Tonti, pembalap Quick Step ini masih berhak atas jersey merah muda (maglia rosa). Pembalap berkebangsaan Italia ini memimpin lomba keseluruhan setelah menginjak finish di urutan 66, pada etape sejauh 199 kilometer, Rabu waktu setempat.

“Saya merasakan sakit di bagian perut dan muntah-muntah selama etape ini,” ujarnya. “Hasil ini berkat Bettini dan Tonti yang mempertahankan saya di jalur yang benar hingga bisa mencapai finish,” tambahnya. Total waktu Visconti setelah etape ini menjadi 49 jam 0 menit 17 detik. Visconti unggul 5 menit 50 detik dari peringkat kedua, Gabriele Bosisio.

Sementara, untuk juara etape ini diraih Alessandro Bertolini. Pembalap asal Italia ini menyelesaikan lomba dengan waktu tercepat 5 jam 44 menit 22 detik. Ini adalah kemenangan pertama pembalap berusia 36 tahun ini di Giro. “Saya sudah mencapai mimpi saya,” ujarnya dikutip bikeradar.com.

Tempat kedua dan ketiga direbut Pablo Lastras Garcia (Spanyol/ Caisse d’Epargne) dan Fortunato Baliani (Italia/CSF Group Navigare). Mereka lambat 5 detik dari Bertolini.

Thursday, May 15, 2008

Giro d'Italia ke-91 dari 10 Mei sampai 1 Juni 2008

Etape Keenam: Visconti Rebut Jersey Merah Muda
Lompatan besar dialami Giovanni Visconti pada etape keenam Giro d’Italia ke-91 yang berlangsung 15 Mei waktu setempat. Pembalap asal Italia ini merangkak naik ke peringkat pertama klasemen umum. Sebelumnya, Visconti adalah penghuni posisi 62. Namun, berkat masuk finis di urutan 8 di etape ini, serta terpentalnya para pembalap pemuncak klasemen umum termasuk Franco Pellizotti, ia pun berhak mengambil jersey merah muda dari Pillizotti.

Pembalap Quick Step itu total mengumpulkan waktu tercepat 27 jam 14 menit 4 detik. Sedangkan Pellizotti yang juga asal Italia bergeser ke peringkat 7, selisih 9 menit 8 detik dari Visconti. “Saya ingin mempertahankan jersey ini selama mungkin, untuk saya, pacar dan orang tua,” ujarnya.

Matteo Priamo Menang
Sementara, pada etape sepanjang 231.6 kilometer yang dimulai dari Potenza sampai Peschici, Matteo Priamo berhasil keluar sebagai pemenang. Pembalap tuan rumah ini lebih cepat 8 detik dari peringkat kedua Alan Perez Lezaun asal Spanyol. Priamo yang membela Tim CSF Group Navigare menyelesaikan lomba dengan waktu 5 jam 24 menit 49 detik.

“Sulit mengungkapkan apa yang sedang terjadi sekarang. Ini kemenangan pertama saya di Giro d’Italia. Dan saya tidak pernah berpikir untuk menang di satu etape,” ujarnya.

Etape Kelima: Brutt Menangi Etape Kelima
Pembalap Rusia Pavel Brutt memenangi etape kelima Giro d’Italia ke 91 yang menempuh jarak 203 kilometer, dari Belvedere Marittimo hingga Contursi Terme. Pembalap Tim Tinkoff Credit System ini menginjak finis pertama dengan catatan waktu 5 jam 4 menit 52 detik. “Tidak, tidak, saya tidak percaya ini,” ujar Brutt.

Dengan rata-rata kecepatan 39,951 kilometer perjam, Brutt lebih cepat 4 detik dari peringkat kedua Johannes Frohlinger (Jerman/Geroilsteiner). Tempat ketiga diduduki Luis Felipe Leverde Jimenez (Kolombia/CSF Group Navigare). Hasil etape ini tidak merubah pimpinan klasemen umum. Franco Pellizotti (Italia/Liquigas) tetap memimpin klasemen dengan total waktu 21 jam 46 menit 49 detik.

Etape keempat: Kemenangan Pertama Cavendish
Pembalap Tim High Road Mark Cavendish memenangi grand tour pertamanya. Pembalap Asal Inggris Raya itu juara di etape keempat Giro d’Italia ke 91, dari Pizzo Calabro sampai Catanzaro, berjarak 183 kilometer. Kemenangan Cavendish tidak lepas dari bantuan rekan setimnya yang membawa pembalap berusia 22 tahun ini berada di depan. Di final 200 meter kecepatan sepedanya mengalahkan laju Daniele Bennati (Italia/Liquigas) dan Robert Forster (Jerman/Gerolsteiner).

“Ini kemenangan terbesar dalam karir saya,” ujarnya usai lomba. “Apa yang dibuat tim saya hari ini sunguh indah. Mereka menaruh banyak kepercayaan kepada saya. Saat di medan tanjakan, mereka terlebih dahulu berada di depan. Menunggu saya, dan membawa saya kembali ke depan,” tambahnya.

Etepe keempat masih menempatkan Franco Pellizotti sebagai pemimpin umum klasemen keseluruhan. Pembalap Italia dari Tim Liquigas ini menorehkan total waktu tercepat 16 jam 41 menit 26 detik. Di bawahnya pembalap AS, Christian Vande Velde (Tim Slipstream) dengan selisih 1 detik.

Etape Ketiga: Bennati Mengukuhkan Kejayaan Liquigas
Kemenangan Daniele Bennati di etape ketiga yang menempuh jarak 221 kilometer dari Catania menuju Milazzo, 12 Mei, makin mengukuhkan posisi Tim Liquigas. Tim asal Italia ini menempatkan dua pembalapnya di peringkat teratas dua klasifikasi. Bennati menempati klasifikasi poin dengan 29 angka, dan Franco Pelizotti tetap bertahan di klasemen umum dengan total waktu tercepat 11 jam 52 menit 17 detik. Tim Liquigas juga menduduki singgasana sebagai tim tercepat hingga etape ini.

Bennati menyelesaikan lomba dengan waktu 5 jam 37 menit 1 detik. “Akhirnya saya memenangi satu etape di Giro d’Italia,” ujarnya. Pembalap berusia 27 tahun ini sudah memenangi etape di Tour de France dan Vuelta de Espana. Namun belum sekalipun menang di kejuaraan yang digelar di tanah kelahirannya. “Saya sangat bahagia dengan hasil ini, karena ini kemenangan saya pertama di lomba ini,” katanya.

Etape Kedua: Ricco Menang, Pellizotti Memimpin Lomba
Riccardo Ricco membuktikan diri sebagai yang tercepat di etape kedua Giro d’Italia. Pada lomba yang menempuh jarak 207 kilometer dari Cefalu menuju Agrigento, Ricco menyisihkan kompatriotnya. Pembalap Italia dari Tim Saunier Duval-Scoot ini mengungguli Danilio di Luca (LPR Brakes),
Davide Rebellin (Gerolsteiner), Franco Pellizotti (Liquigas), dan Paolo Savoldelli (LPR Brakes) dalam adu sprint.

“Pagi ini saya menginginkan memenangi etape, dan itu terjadi” ujar Ricco. “Benitez (rekan setim) membantu saya di kilometer akhir dan kemudian Peipoli. Saya merasa bantuan rekan setim itu sangat bagus.”

Hasil lomba etape kedua menempatkan Franco Pelizotti ke peringkat pertama klasemen umum. Pembalap Italia dari Tim Liquigas ini menggeser Christian Vande Velde ke posisi kedua. Catatan waktu Pellizotti unggul 1 detik dari pembalap Amerika Serikat itu.

Etape Pertama: Velde Memimpin Lomba
Tim Slipstream menang di etape pembuka Giro d’Italia ke 91. Pada etape Team Time Trial di Palermo berjarak 23.6 kilometer, lima pembalap Tim Slipstream membukukan waktu tercepat 26 menit 32 detik. Lebih cepat 6 detik dari Tim CSC. Hasil ini pun menempatkan satu pembalapnya, Christian Vande Velde, mengenakan jerse merah muda sebagai tanda pemimpin lomba. “Ini mengagumkan,” ujar Velde berusia 31 tahun. “Aku tidak yakin tentang kemenangan pertama bagi Amerika sejak 20 tahun terakhir.”

Wednesday, May 14, 2008

Mungkin Poin, Mungkin Lomba, Mungkin...


Keterangan Foto: Risa Suseanty, satu atlet yang pernah dicoret Timnas pada Sea Games 2007. Padahal dialah ratu downhill Indonesia saat itu. (Foto Yoga Wardhana)

Tulisan Senggang: Tomi Nala

Iseng saya bertanya mengenai poin lomba. Iseng saya bertanya mengenai kriteria atlet yang dikirim lomba ke pentas internasional.

Kurun waktu dua minggu, pada akhir April dan awal Mei 2008, Majalah Cycling mendapat banyak (jika diukur dari undangan bulan sebelumnya) undangan peliputan. Ada kejuaraan cross country (XC) di Bali, Bogor dan Malaysia. Lalu ada Kriterium Series di Jakarta. Kemudian meliput seminar tentang penggunaan sepeda di Universitas Indonesia.

Sekian event itu kami bagi rata. Siapa yang ke Malaysia, siapa ke Bali, siapa yang meliput di Jakarta dan siapa yang menyambangi Taman Buah Mekarsari satu minggu kemudian. Saya mendapat jatah meliput kejuaraan Urban DH dan XC di Bali serta Kejurnas XC di Mekarsari. Mendapat dua kali kesempatan meliput event besar itu saya manfaatkan dengan baik. Maksudnya, menggali segala informasi, isu tentang dunia sepeda, dan mencari berita untuk rubrik yang saya asuh.

Karena kedua event itu besar, tentunya yang datang pun “dedengkot” dunia balap sepeda Indonesia. Mulai kalangan atlet, pelatih, penghobi, pengurus klub sepeda, dan pejabat PB ISSI. Di Bali, saya berkesempatan berbincang ngalur- ngidul dengan Bapak Daryamadi Sadmoko. Beliau adalah Komisi Perwasitan dan Perlombaan PB.ISSI. Tubuh tambunnya sering terlihat di balapan sepeda segala disiplin.

Sepanjang malam, usai menghabiskan waktu di siang hari bolong, Sadmoko bertutur perihal penerapan sistem poin pembalap. Tema ini memang sengaja saya tanyakan dengan tujuan, atlet seperti apa yang dikirim ke balapan internasional. Apa kriterianya?

Kriteria? "Mungkin" pembalap terbaik saat ini yang dikirim. Bagaimana menilai kalau atlet yang dikirim itu memang terbaik? Penilaian pelatih, penilaian masyarakat, penilaian manager Timnas Indonesia, atau ada penilaian lain. Itu bisa jadi penilaian subyektif. Menurut pelatih, si A bagus. Kata manager, si A yang tercepat. Tapi menurut masyarakat penggemar sepeda, si A itu kalahan dan si B lah yang layak dikirim.

Opini publik kerap muncul. Perbedaan pendapat dan pandangan pasti ada. Jalan keluarnya? “Mungkin” menjalankan sistem poin. Dengan hadiah poin disetiap lomba, atlet akan berpacu meningkatkan prestasi. Keluar semangat dari atlet untuk memburu poin agar berkesempatan membela Merah Putih di panggung internasional. Dan tentunya mengejar penghasilan yang besar dari pemerintah. (sekedar mengingatkan: satu keping emas Sea Games Thailand lalu berharga 200 juta rupiah).

Menurut Sadmoko, sistem poin memang mesti diterapkan dan dipatuhi. Namun tentunya diimbangi dengan lomba yang berkualitas. Bila sistem poin ini diberlakukan, kita bisa lihat siapa pembalap yang sering juara dan memiliki poin tinggi. “Mungkin” pemilik poin tertinggi itu yang dikirim bertanding di kejuaraan internasional.

Lebih dalam, wacana ini pun saya tanyakan kembali saat liputan lomba di Mekarsari. Kebetulan, di barisan bangku kehormatan duduk pria nomor dua di lingkungan PB ISSI, Sofian Ruzian. Kepada beliau saya menayakan tentang sistem poin yang pernah dilontarkan kepada saya beberapa bulan sebelumnya. Saat itu beliau meminta kepada panitia lomba untuk me-record semua hasilnya, terutama dari kategori elite (atlet). Agar terlihat jelas siapa atlet terbaik Indonesia saat ini. Perintah itu demi penghitungan poin juga.

Nantinya pembalap yang memiliki poin tertinggi akan membela Timnas Indonesia di pentas internasional. "Mungkin" secara rutin mengikuti seri World Cup dan World Championships.

Kejuaraan di Mekarsari, yang baru pertama kali, belum masuk hitungan poin. Sistem poin berlaku untuk event kejurnas dan setidaknya sudah mendaftarkan lomba setahun sebelumnya. Hingga pihak ISSI bisa menentukan event mana saja yang layak diiterapkan sistem poin. Tahun ini, untuk kategori sepeda gunung XC, poin dimulai dari lomba XC di Kebun Binatang Ragunan ( Polygon Zoo Jakarta Challenge) dan dilanjutkan di Pekan Olahraga Nasional di Kalimantan Timur.

Balapan road diukur dari kejuaraan besar Indonesia: Tour de East Java, Polygon Tour de Jakarta, Tour de Indonesia atau Kriterium Series. Downhill dan BMX Racing “mungkin” dimulai di PON 2008 ini.

Sistem poin diterapkan. Bagaimana dengan lomba berkualitas? Sofian Ruzian, yang merupakan mantan pembalap sepeda jalan raya Indonesia, berpesan kepada pihak penyelenggara yang hendak bikin lomba balapan sepeda sebaiknya mendaftarkan jadwalnya ke ISSI setahun sebelumnya. Dengan begitu, semua event tersusun rapi, dan “mungkin” kasus bentrok dua event tidak terjadi. Agar pembalap berkemampuan “ganda” tidak mengorbankan satu event.

Mari sama-sama kita dukung program ISSI itu demi kemajuan balap sepeda Indonesia. Daftarkan event Anda setahun sebelumnya. Dengan begitu, “mungkin” program dari ISSI itu dapat terealisasi dengan baik. Tentunya dengan dibarengi kontrol dan pantauan dari pihak media selaku penyebar informasi.

Ayo majukan balap sepeda Indonesia!

Tuesday, May 13, 2008

Antara Bisa dan Sok Jago

Ini pertama kalinya saya bermain sepeda di offroad. Pegal, linu, lelah, dan luka menjadi tulisan kertas perjalanan saya.

Semilir angin menyambut kedatangan saya. Bentangan kebun teh yang berada tepat di depan saya terdiam, seolah menunggu kehadiran seseorang. Di sebuah warung makan, tempat saya berdiri, sudah berjejal puluhan lelaki berseragam jersey, menenteng helm sepeda, dan mengenakan gloves. Di luar warung, beberapa sepeda gunung berjejer rapi. Beberapa sepeda lainnya diutak-atik oleh sang pemiliki. Mereka sedang memasang ban, mengencangkan pegangan ban, memompa ban, serta mengecek rem.

“Wow! Sudah ramai ya,” gumamku. “Wah asyik nih. Banyak teman yang main,” timpal rekanku, Pepi, wartawan Majalah Cycling, yang ternyata baru pertama kali sepedaan di sini. Sabtu pagi itu, saya dan beberapa teman dari Majalah Cycling memang berencana menelusuri jalur offroad, Rindu Alam, di Puncak Bogor, Jawa Barat.

Kepadatan di warung makan berukuran 10 x 7 meter itu sesuai ucapan teman saya lainnya. Sebelum jalan dari tempat kumpul kami di Kebon Nanas, Cawang, Jakarta Selatan, Doni, rekan saya itu menyeletuk kalau rekan-rekan sepeda gunung dari Jalur Jatiasih (JJ), Bekasi, juga bakal main hari ini. Ternyata ucapan Doni itu benar. Bahkan bukan dari JJ saja yang muncul di Rindu Alam. Pesepeda Depok dan Pamulang juga terlihat hadir di situ.

Sebagai penghobi baru sepeda gunung, saya sedikit canggung bermain di offroad. Grogi, ngeri, dan malu, bercampur aduk dengan rasa canggung itu. Bukan apa-apa. Ini pertama kalinya saya bermain sepeda di jaur offroad. Belum lagi jika terjadi apa-apa dengan sepeda yang saya pakai. Bisa-bisa diomeli Sumanjaya, teman saya yang sudah ikhlas meminjami sepeda merek Schwin ini.

Jarum jam di tangan tepat menunjuk angka 8. Inilah waktunya memulai perjalanan. “Ayo jalan,” ajak Doni, komando perjalanan hari itu. Satu persatu para pesepada menuruni turunan berbatu berjarak sekitar 7 meter. Saya berbisik ke Pepi, “Kita terakhir saja. Biar kalau jatuh tidak ada yang menertawakan hee..hee...”

Nyatanya, memang saya yang terakhir turun. Namun, di bawah, rekan saya malah menunggu. “Ayo turun,” teriak teman-teman. Maksud hati ingin tidak dilihatin, eh malah ditonton rekan “sekompi”. Saya pun memberanikan turun. Tapi sebelum menuruni jalur yang didominasi batu itu, Doni seketika teriak, “Pantatnya di belakang sadel, biar tidak terguling.” “Oke,” jawabku. Saya menuruti anjuran Doni itu, salah seorang rekan yang sering bermain di jalur offroad. Anjuran yang bermanfaat. Saya bisa menuruni tanpa jatuh. Tapi kemampuan turun itu, tentunya saya imbangi dengan menekan rem terlalu kencang. Sehingga bergulirnya roda menjadi pelan. “Ah gak keren turunnya,” ejek Hendrik rekan saya lainnya, yang aktif ikut kejuaraan downhill.

Pandangan mata sejauh 200 meter hanya terlihat bentangan kebun teh dan pohon menjulang tinggi. Di permukaan, hiasan batu-batu kecil yang tersebar di tanah, menjadi “sarapan” ban Kenda saya. Sepanjang itu, jalur masih selebar 2 meter. Saya melalui jalur kiri sesempit setengah meter. Jalur kanan dilalui Pepi, yang hari itu menunggangi sepeda Scoot Voltage. Kedua jalur ini dipisahkan rerumputan seukuran mata kaki.

Di sini kecepatan sepeda saya masih pelan. Karena saya masih menyesuaikan diri dengan medan tanah. Rekan saya, malah mengemudi ugal-ugalan. Doni, Hendrik, Anggoro, Reinaldo, dan Johan, bangga menunjukan kecepatan bersepeda di offroad. “Bocah gila,” ujarku. “Trek hancur begini, mereka main kebut-kebutan,” gumamku. “Biarin aja. Mereka pasti nungguin kita di depan,” timpal Pepi, yang masih berada di sampingku.

Toh, ada rasa kenikmatan sendiri buat saya menggenjot pedal secara perlahan. Setidaknya saya benar-benar merasakan sejuknya udara puncak. Memandang lima perempuan tua dengan tas gendong sedang memetik pucuk teh. Sesekali salah seorang perempuan itu tersenyum kala saya sapa. Lewat 50 meter, rombongan pejalan kaki terlihat berdiri menatap hamparan kebun teh dan memandang mobil lalu lalang di lintasan jalan raya yang ada di bawah.

Woi, lama banget genjotnya,” teriak Hendrik, yang terkenal paling suka memanas-manasi rekan-rekan untuk kebut-kebutan. Bersama rekan lainnya, ia istirahat di bawah sebuah pohon. “Lama banget, Ngapain aja?” tanya Johan sambil memegang bidon merek Polygon. “He..hee..hee..sorry, maklum newbie,” jawabku. Saya dan Pepi pun ikut istirahat. Saya mengambil air di bidon yang menempel di downtube dan segera meminumnya.

Jarum jam saya menunjukan pukul 08.45. Berarti sudah 45 menit perjalanan yang saya tempuh. Sedangkan cyclo di handlebars tertera angka 12, menandakan sudah 12 kilometer jarak tempuh saya. “12 kilometer dalam 45 menit. Lama apa cepat ya?” tanyaku dalam hati.

Perjalanan dilanjutkan menuju Taman Safari, tujuan peristirahatan kami. Di depan daerah wisata itu pasti jejeran rumah makan dengan lauk pauknya yang hangat sudah menanti. Sepeda Schwin ini pun saya genjot kembali. Shifter saya geser ke posisi gear normal, karena jalannya cenderung datar. Belum sampai kaki ini menikmati putaran pedal secara santai, Hendrik langsung teriak. “Ayo yang cepat genjotnya”.

Seketika saya langsung menambah kecepatan sepeda. Shifter saya tekan ke gear berat agar kecepatan sepeda bertambah. Dalam hati, rasa takut ini terus membayangi. Menyusup ke relung hati. Saya tidak tahu jalur apa yang bakal saya temui nanti. Lubang, batu besar, akar pohon, atau rumput. Item itu terus memenuhi seisi otak saya. “Bagaimana kalau tiba-tiba ada lubang atau batu besar di depan saya,” gumamku. Apakah dengan kemampuan handling saya yang biasa saja bisa menghindari itu semua. “Ah masa bodoh. Asal tidak terperosok ke jurang saja,” pikirku.

Tangan saya terus bergetar deras begitu speed sepeda bertambah. Jalan yang rusak telah memaksa telapak tangan memegang erat grip sepeda. Hendrik yang berada di depan saya, sudah hampir saya salip. Doni, Anggoro, Reinaldo dan Johan berada di depan Hendrik. Sedangkan Pepi berada di belakang. Ia membuntuti saya.

Otot-otot kaki terus saya paksa berkerja. Tujuannya, untuk mendahului Hendrik. Namun ia terus menggenjot dengan cepat menghindari kejaran saya. Melihat Hendrik mempercepat lajunya, saya pun makin bernafsu mengejar. “Lihat saja, gw kepot deh dia!”

Sepeda saya pun mendekatinya. Tinggal satu meter lagi saya menyamai dan menyalipnya. Jalur tanah yang saya lewati di sini masih selebar 3 meter. Peluang mendahului Hendrik itu akhirnya datang. Saya menjejaki jalur kanan dan Hendrik kiri. Saat posisi sama, saya pun berinisiatif menyeberangi rerumputan yang menjadi pemisah kami dan menduduki jalur sepedanya.

Hup, saya pun melompati rerumputan sependek mata kaki itu, dan gubrak, saya terlempar dari sepeda, dan jatuh. Kepala yang terlindungi helm, menabrak tanah di sisi kiri. Saya hanya terdiam sejenak. Hendrik memanggil-panggil saya. “Lho tidak apa-apa,” tanyanya. Saya diam. Rasanya lebih enak tiduran dulu di tanah dengan posisi badan tengkurap dari pada menjawab suara Hendrik yang berlogat betawi itu. Selang beberapa detik, disekililing saya sudah berdiri: Johan, Pepi, Anggoro, Reinaldo dan Doni.

“Lho gak apa-apa”, tanya mereka mengkawatirkan saya. Dengan muka berlepotan tanah, saya menjawab, “Laki-laki banget jatuhnya.” Ha..haa..haaa..haa..suara itu serempak keluar dari mulut rekan-rekan saya. “Lagi coba-coba balap gw,” Hendrik menyombongkan diri. “Ngehe lho,” timpalku. Doni mengeluarkan kotak obat. Ia memberi Betadine dan Handyplast agar saya mengobati luka dilutut. Kami semua istirahat sejenak di tengah trek, yang bagian kirinya adalah deretan pohon besar.

“Kita istirahat di Taman Safari saja nanti,” ajak Doni. “Paling sekitar 500 meter lagi,” tambahnya. Perjalanan bersepeda dilanjutkan. Namun kali ini kami mengenjot santai. Tidak ada lagi ajang kebut-kebutan. Cukup insiden itu saya yang mengalami saja.

Di sepanjang perjalan kami mengiringi dengan canda tawa. Apalagi kalau bukan membahas proses terjatuhnya saya. “Haa..haa..di kantor bakal di kontrak 6 bulan lho,” kata Hendrik. “Maksudnya,” tanyaku heran. “Dikontrak buat di ceng-in anak-anak selama 6 bulan haa..haa..,” jawab Hendrik tertawa puas. “Sial.”

Saya tidak menghiraukan ledekan rekan-rekan di perjalanan. Hampir di sepanjang jalur kebun teh, saya cuma senyum-senyum saja. Rombongan pejalan kaki (tea walk) yang berada di depan kami tiba-tiba menyapa ramah. “Pagi,” sapa salah satu pejalan, seorang bapak tua, berusia sekitar 60-an. “Temannya sudah di depan tuh,” celetuk ibu tua yang berada disamping bapak tua itu, memberitahu pesepeda dari Jalur Jatiasih, Pamulang dan Depok yang bergerak duluan di depan kami. “Pagi. Iya, makasih bu,” jawabku membalas sopan sapaan kedua orang itu.

Kedua kaki terus naik turun mengenjot sepeda. Sampai akhirnya kami sampai di jalur onroad di sekitar Gunung Mas. Dan sengaja kami teruskan untuk menuju Taman Safari, tempat peristirahatan. Sepeda tetap bergerak lambat. Suara hembusan nafas bersautan, menandakan betapa lelahnya kami sampai jalur onroad itu. Mata menatap cyclo, alat penunjuk jarak, yang terikat di handlebars saya. “22”. Angka itu tertera di cyclo, menandakan sudah 22 kilometer perjalanan yang kami tempuh sampai saat ini.

Dari sebuah warung nasi, yang terletak di samping Balai Penelitian Hewan Taman Safari, rekan pesepeda dari Jalur Jatiasih menyapa kami. “Mampir dulu,” ajak mereka. “Iya om, tanggung mau istirahat makan di depan Taman Safari saja,”jawab rekan saya Doni sambil jalan. “sip, hati-hati om,” jawab mereka kembali.

Usai melewati warung nasi tadi, sekitar 100 meter, “surga” terlihat indah di depan. Apalagi kalau bukan turunan. Jalur idaman semua pesepeda. Walaupun jaraknya saya taksir hanya 20 meter, jalur ini saya kira cukup mengobati rasa linu di kaki. Setidaknya, otot kaki bisa diistirahatkan sejenak. Namun sialnya, bukan jalan turun lurus yang dipilih rekan-rekan, melainkan tikungan kiri yang jadi pilihan. “Busyet deh! Gw dah senang saja jalannya turunan panjang,” ujarku menggerutu. “Tahu-tahunya malah belok di pertigaan.”

Lebih sialnya, jalan yang membelok kiri adalah musuh saya. Tanjakan. Ya!, tanjakan panjang sejauh 17 meter. Tidak ada pilihan lain. Saya turun dari sepeda dan memulai aksi “memalukan”, tuntun-tuntun bike. Selain saya, aksi ini dilakukan Pepi, Reinaldo dan Johan. Doni, Anggoro dan Hendrik tetap memaksakan genjot. “Climber nanjak,” ledek Johan menyikapi aksi Doni, Anggoro dan Hendrik itu.

Depan tanjakan, jalan terpecah menjadi dua. Arah yang kami pilih adalah jalur kanan. Saat mau belok, Anggoro yang berada di belakang Doni dan Hendrik, terserempet motor yang kebut dari arah kiri kami. “Gedubrak.” Suara itu terdengar kencang. Anggoro, 30 tahun, lelaki asal Semarang itu, terpental ke jalan. Kakinya penuh luka. Untungnya tidak ada luka serius di tubuhnya.

Pengemudi motor, bapak berusia sekitar 40 tahun, ikut jatuh dan tertiban motornya. Dari tubuhnya tidak terlihat luka serius. “Maaf mas,” sesal pengemudi motor itu. “Saya buru-buru mau menghantar kue ke toko.” Semua kue yang ada di box belakang berceceran ke jalan. Iba. Saya hanya menatap bingung. Johan dan Pepi menolong Anggoro. Hendrik, Reinaldo dan Doni marah-marah menyalahkan pengemudi motor itu. Tampang melas dan pucat tidak mengurangi kemarahan rekan saya itu. Saya sendiri hanya diam. Sepeda Wheeler milik Anggoro saya angkat dan pindahkan ke pinggir jalan. Jalan damai antara rekan saya dan pengemudi usai. Tidak ada ganti rugi.

Untungnya sepeda warna hitam Anggoro tidak rusak parah. Hingga masih bisa dinaiki sampai depan Taman Safari. Kami pun mengubah rencana. Bila dalam perencanaan kami istirahat makan di Taman Safari, lalu melanjutkan sampai ke Ciawi, maka rencana itu kami ganti. Taman Safari menjadi tujuan akhir perjalanan kami. Dari situ, kami akan menyewa angkutan umum untuk menghantar ke bawah, tempat kendaraan kami parkir.

Lelah, letih, pegal, luka dan sebuah pengalaman baru bersepeda di offroad mengisi lembaran saya. Sudah berani melaju cepat di offroad? Berani. Saya rasa pada babak kedua nanti bermain di jalur offroad, saya sudah berani kebut-kebutan. Kuncinya bermain di offroad menurut saya ada dua: yakin dan berani. Yakin kalo Anda bisa menyepeda di offroad. Berani menghadapi rintangan yang ada di sepanjak trek offroad.

* Ini tulisan fiksi dan pengisi waktu luang penulis saja. Bila ada kesamaan nama dan cerita, itu cuma kebetulan saja.

Friday, May 9, 2008

Chandra Ariavijaya: Tokoh Dibalik Kesuksesan Atlit MTB Indonesia

Pinggir lintasan balap sepeda mountain bike cross country (XC), di Cikole, Bandung, seorang lelaki yang selalu memakai kacamata hitam terus memacu semangat anak didiknya. Dari raut wajahnya tidak nampak kelelahan. Dalam lomba Pra Pon 200 itu, lelaki itu terus memompa semangat anak didiknya yang sedang bertanding. Satu putaran, dua putaran, tiga putaran, hingga putaran terakhir, teriakan atau instruksinya itu kian terlontar dari mulutnya.

Lelaki itu Chandra Ariavijaya. Hampir disetiap event balapan sepeda gunung, Chandra selalu menyempatkan hadir. Entah sebagai pelatih, maupun sabagai peserta lomba. Sebagai pelatih, pengalamannya sudah tidak perlu ditanyakan. Dia adalah mantan pelatih sepeda gunung Indonesia. Saat menjadi pelatih nasional, dia terlibat dalam program Indonesia Bangkit. Sebagai peserta lomba, dia adalah jawara downhill kategori master C.

Totalitas lain Om Chandra, sapaan akrabnya, di dunia sepeda gunung adalah dengan mendirikan racing manajemen. Namanya sering “terngiang” di setiap event sepeda gunung, yakni Charmdevo (Chandra Ariavijaya Management Racing Team).

Atlet yang berada dinaungan Charmdevo itu tidak pernah kering prestasi. Sebut saja Risa Suseanty, Sugianto Gimo, Ferinanto, Martha Mufreni, Sugianto “Hoho” Setiawan dan Ferry Sonic. Mereka sudah banyak mengaharumkan nama Indonesia di dunia internasional melalui prestasinya. Seperti medali emas Sea Games.

Dari jajaran young guns, tercatat nama Bandi Sugito, Chandra Purnamawan, Afrizal, dan Ade Wahyu. Mereka sama seperti para seniornya. Yakni sama-sama menuai banyak gelar juara di event nasional maupun internasional.

Bandi Sugito (20), pembalap disiplin cross country, menggondol gelar di Penang International MTB Challenge 2005, KL International MTB Championship 2005, SACA MTB Race II 2006 di Tampines, dan Kenyir International XC, di Trengganu 2006. Kemudian ada nama Chandra Purnamawan yang juga meraih juara di SACA MTB Race II, SACA XC Race Singapura 2006 dan KL International MTB Championship 2005.

Dua pembalap itu tergolong muda. Tapi jangan salah. Di bawah mereka masih ada anak didiknya yang lebih muda dan belum waktunya untuk diorbitkan. “Saya masih punya anak didik yang lebih muda,” ujar lelaki kelahiran 17 Januari 1964 itu.

Chandra pintar mencari bibit muda pesepeda gunung. Keaktifannya hadir di hampir setiap event adalah untuk memperhatikan pembalap muda.. “Muda dan berkemauan keras untuk menjadi atlet sepeda gunung,” ujar mantan atlit Cannondale Asia Pro Rider itu.

Alasan mengapa Chandra melakukan pencarian bibit muda itu, didasari atas pengalamannya bertanding di kejuaraan MTB di Eropa khususnya di Inggris. Hampir disetiap pertandingan, ia selalu menyaksikan pembalap Jepang. “Kalau Jepang bisa memunculkan banyak atlit muda, mengapa Indonesia tidak,” katanya.

Dari pengalaman itu, sekitar tahun 1991, dirinya pulang ke Indonesia dan memulai pencariannya. Atlit pertama yang direkrutnya adalah Martha Mufreni di tahun 1993. Lalu, menyusul Risa Suseanty, Ferry Sonic, Ferinanto, Sugianto ‘Hoho’ Setyawan dan Sugianto Gimo. Cuma butuh waktu 2 tahun buat Chandra untuk menjadikan mereka jawara nasional dan 4 tahun juara Asia.

“Tahun 1995 Risa sudah menjadi juara nasional. Bahkan, Ferry di tahun itu sudah jadi juara dunia junior World Cup,” kata mantan pembalap MTB yang masuk elite kategori British Series Racing itu.

Karena anak didiknya memberikan titik terang di dunia balap sepeda MTB. Maka Chandra memutuskan pensiun di tahun 1994. Padahal saat itu peringkatnya di Union Cycliste Internationale (UCI) world racing kelas downhill adalah 30. “Peringkat itu adalah pencapaian terbaik pembalap Asia di kelas downhill,” ujarnya.

Selepas pensiun, selain membina anak didiknya, Chandra juga dipercaya menduduki posisi pelatih nasional tahun 1995 sampai 2006. Kepercayaan ISSI itu dijawab Chandra dengan prestasi. Atlit nasional yang notabene adalah anak didiknya di Charmdevo, banyak mendapatkan emas di event Sea Games maupun Asian Games. Terakhir, Chandra berhasil membawa pulang medali perunggu Asian Games 2002 di Busan, atas nama Risa Suseanty.

Yang menariknya, sebelum ke Busan, Chandra dan Risa terlebih dahulu kena cekal oleh Komite Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Alasannya, karena mereka menolak melakukan pelatihan nasional (pelatnas) di dalam negeri. “Saya melatih Risa di Australia, karena itu bagus buat Risa,” kata mantan pembalap Gary Fisher Asia itu. “Banyak kejuaraan diadakan disana, sehingga baik juga buat mentalnya,” tambahnya.

Kasus serupa juga dialaminya sekarang. Namun, kali ini menimpa anak didiknya, Bandi Sugito. Permasalahannya pun sama, Bandi tidak mau memasuki pelatnas di Malang. Menurut mantan pembalap MTB peringkat 20 di Inggris itu, latihan di Malang sama saja dengan di Bandung. Bandi sendiri merasa nyaman berlatih di Bandung. “Kalau atlitnya tidak nyaman buat apa,” ungkapnya. Akibatnya, Bandi dikeluarkan dari timnas Sea Games ke-XXIV di Nakhon Ratchasima, Thailand, Desember nanti.

Tidak memasuki pelatnas Sea Games, belum menutup pintu bagi Bandi untuk membela merah putih. Kerena bisa jadi nasibnya sama dengan Risa. “Biar KONI yang melihat sendiri prestasi Bandi. Dia akan mengikuti beberapa kejuaraan di Asia Tenggara,” ungkap Head Commision MTB Jawa Barat. “Risa dulu seperti itu sebelum berangkat ke Busan. Sampai akhirnya, KONI melihat sendiri prestasi Risa,” tambahnya.

Bila dikatakan pembakang, Chandra dengan keras menolaknya. Menurut dia, sikapnya itu didasari beberapa alasan yang logis. Dirinya tahu banyak tentang olahraga sepeda gunung dan tahu dengan karakter atlitnya. “Lebih baik saya tunjukan dengan prestasi,” katanya.(Foto: Charmdevo.com)

Thursday, May 8, 2008

Kloden Fokus di Giro d’Italia

Menjuarai Tour de Romandie 2008 di Swiss bukan impian Andreas Kloden. Pembalap Tim Astana ini hanya menganggap balapan kategori Pro Tour yang berlangsung 29 April sampai 4 Mei itu sebagai event pemanasan saja. “Menang di tour ini bukan sebuah impian. Tapi hasil ini memuaskan sebelum ikut lomba di Giro d’Italia,” ujar Kloden.

Sebagai salah satu kapten tim selain Alberto Contador dan Levi Leipheimer, Kloden lebih menatap Giro d’Italia. Pembalap berkebangsaan Jerman ini lebih fokus mengejar juara umum di event itu.

Ada indikasi Kloden akan menjadi kapten tim di Giro. “Mulai sekarang, dia adalah yang terkuat dari ketiga kapten yang kita miliki,” kata Juru Bicara Tim Astana, Philippe Maertens.

Kloden, 32 tahun, memulai musim balap ini dengan sulit. Dia harus berjuang melawan bermacam penyakit yang menyerangnya. Dia juga baru bergabung bersama tim saat memasuki pemusatan latihan di Albuquerque, New Mexico, Amerika Serikat. Saat balapan di Tour de Romandie, ia mengawali lomba dengan slow.

Ia baru bisa memimpin klasemen umum ketika memasuki etape ketiga (Time Trial) sepanjang 18,8 kilometer. Ia melindas garis finish pertama dengan catatan waktu 25 menit 32 detik. Pada etape terakhir ia masuk finish di posisi 18. Namun catatan waktunya secara keseluruhan tetap yang tercepat. Hingga ia dinobatkan sebagai juara dengan waktu 16 jam 43 menit 20 detik dalam lomba berjarak 659 kilometer itu.

Tuesday, May 6, 2008

Dominasi Atlet Jabar

Foto: Sumanjaya


Mekarsari Mountain Bike National Challenge 2008

Empat atlet Pelatihan Daerah Jawa Barat menempati dua peringkat teratas di masing-masing kelas elite.

Kucuran keringat membasahi tubuh Bandi Sugito. Kayuhan sepeda di permukaan tanah lembek membuat putaran crank-nya menjadi berat. Gumpalan tanah yang memenuhi bagian chain stay dan seat stay, serta menutupi rear derailleur, adalah biang permasalahannya. Namun, berkat permainan shifter yang lembut dan menggenjot dengan konstan, pemuda 22 tahun itu tetap bisa menunjukan ketangguhannya.

Kondisi trek cross country (XC) Taman Wisata Mekarsari, pagi itu memang banyak dihiasi permukaan tanah lembek. Kucuran air hujan yang membasahi trek sehari sebelumnya, memaksa pembalap mengeluarkan tenaga ekstra. Tidak heran jika dalam kejuaraan bertajuk “Mekarsari Mountain Bike National Challenge 2008”, 4 Mei 2008 lalu, banyak pembalap memilih keluar lintasan.

Sugianto Gimo, Chandra Rafsanjani, Agus Suherlan, Afrizal, dan Ade Wahyu adalah segelintir pembalap yang tidak dapat meneruskan lomba. Rafsanjani, atlet nasional Indonesia, terlihat menuntun sepeda saat memasuki lap ke-3. Di belakangnya, menguntit Agus. “Anting rear derailleur saya patah,” ujar Rafsanjani, peraih medali perunggu XC Junior di Asian MTB Championships 2007 ini.

“Jika dipaksakan hingga finish, RD sepeda saya juga bisa patah,” kata Agus. Menurut Agus, tanah yang menumpuk di sela-sela ban, membuat kayuhan sepeda jadi berat. Bahkan Gimo, yang dalam PON 2008 nanti membela ISSI Riau, sudah tidak terlihat di lintasan setelah bendera start dikibaskan. Otomatis greget persaingan di kelas men elite jadi berkurang.

Dari 36 peserta yang mengikuti kelas men elite, hanya 6 pembalap yang meramaikan peta persaingan juara. Bandi Sugito, Dadi Nurcahyadi, Usman Ali, Saikun, Nugroho Kristiyanti, dan Much.Nureocki selalu terlihat memburu gelar Piala Bergilir Menteri Pemuda dan Olahraga.

Pada lap pertama yang panjang lintasannya 6.2 kilometer, Usman Ali dari Kencana Bike Malang memimpin terlebih dahulu. Usman memimpin peleton besar saat memasuki single track. Namun, usai mengenjot sekitar 1 kilometer-an, peleton besar pecah menjadi kecil. Sampai disini, Usman masih terdepan. Mendekati 100 meter masuk finish, atlet XC nasional Indonesia ini hanya ditempel Bandi Sugito. Sedangkan Dadi Nurcahyadi mengejar di belakangnya dengan margin sekitar 100 meter.

Memasuki lap kedua, posisi terdepan berubah. Bandi berhasil menyalip Usman dan memimpin sendirian di depan. “Saya kira Usman ada masalah dengan sepedanya,” kata Bandi, yang seminggu sebelumnya juara XC di Kenyir Internasional MTB Challenge di Malaysia. Bahkan, Dadi yang di lap pertama ketinggalan jauh juga bisa mendahului Usman. Kedua atlet Jabar itu pun gantian memimpin lomba. Disusul Usman di tempat ketiga.

Namun, nasib sial kembali dialami Usman. Pemuda yang masuk kategori elite tahun 1999 ini tidak mampu menjaga posisi ketiga. Begitu lomba memasuki lap keempat, Usman yang baru juara XC di Bali, kembali disalip pembalap lain. Usman di dahului pembalap Bendy Cycling Team, Much Nureocki. Nasib buruk ternyata tidak mau menjauhi Usman. Pemuda berusia 26 tahun itu berturut-turut disalip Saikun dari ISSI Jambi dan Nugroho Kristiyanti dari Pengda ISSI Yogyakarta pada lap berikutnya.

“Usman agak kelelahan. Banyak waktu terbuang saat ia membersihkan gumpalan tanah di sekitar sepedanya,” ujar Sugeng Trihartono, Pelatih Kencana Bike Malang. “Begitu disalip pembalap lawan, ia terlihat malas mengejar lagi.”

Peta persaingan kontan terjadi di perebutan posisi ketiga saja. Sebab posisi pertama dan kedua yang ditempati atlet Jabar (Bandi dan Dadi) sudah tidak mungkin direbut. Perburuan tempat ketiga itu diperebutkan oleh tiga pembalap: Saikun, Nureocki dan Nugroho. Tempat ketiga pun akhirnya jatuh ke tangan Saikun. Atlet binaan Kesawadjati ini menyelesaikan lomba 8 putaran dengan waktu 2 jam 33 menit 8,71 detik.

“Lebih baik bawa satu macan saja ke event ini,” ujar Kesawadjati, Pelatih ISSI Jambi ini mengomentari keberhasilan Saikun di tengah kepungan atlet Jabar.

Atlet Jabar sendiri mencatat sukses dengan menempatkan dua pembalap di peringkat teratas. Bandi Sugito finish pertama dengan catatan waktu 2 jam 24 menit 20 detik. Dadi menyusul di belakangnya dengan selisih waktu 3 menit.

“Persaingan di kejuaraan ini berimbang. Rata-rata yang turun adalah pembalap PON 2008 nanti,” ujar Dadi. “Namun, karena kondisi trek yang berlumpur, banyak pembalap yang tidak dapat meneruskan lomba,” tambahnya.

Sedangkan Bandi menilai, keberhasilannya menjuarai event ini karena dirinya bermain aman. “Untuk turun di trek flat rasa nanjak ini membutuhkan kepintaran memainkan shifter,” kata Bandi yang masuk elite tahun 2004 ini.

Selain faktor stamina, keberhasilan Bandi dan Dadi keluar sebagai juara adalah pemilihan ukuran ban. “Dalam kondisi trek seperti ini, sebaiknya pilih ban berukuran kecil,” ujar Oki Respati, Pelatih MTB Jawa Barat. Dalam perlombaan, Bandi dan Dadi memakai ban berkuran 1,9 inch.

Kusmawati Yazid Juara
Dominasi atlet Jawa Barat (Jabar) berlanjut di kategori elite putri. Memutari trek sebanyak 5 lap, dua pembalap putri Jabar menempati peringkat teratas. Kusmawati Yazid memulai kejayaan Jabar dengan masuk finish pertama dengan membukukan waktu 1 jam 38 menit 4,39 detik. Diana Intan meneruskan kejayaan Jabar dengan finish di urutan kedua. Catatan waktu Intan dengan Kusmawati selisih 5 menit.

Sedangkan juara ketiga diraih pembalap Kencana Bike Malang, Tri Kurniasari. Tri yang juga merebut juara ketiga di kejuaraan GWK XC Challenge beberapa minggu lalu, menyelesaikan lomba dengan waktu 1 jam 52 menit 8,90 detik.

Jalannya perlombaan di kategori elite women berlangsung tanpa greget. Dalam list peserta, elite women hanya diikuti 4 peserta. Di awal hingga akhir lap, Kusmawati selalu berada di depan. “Akan lebih imbang jika atlet Jawa Tengah turun lomba disini,” kata Sugeng Trihartono, mengomentari absennya Sri Suyamti dan Putri Yushica dari Jateng.

Hasil Lengkap:

Junior – 6 Lap – 25 peserta

Mas Permadi Kencana Bike Malang 2:20:14,09

Iwan Setiawan Bendy CT 2:32:14,12

Novan Nur Fajar ABC 2:39:01,51

Men Elite – 8 Lap – 36 Peserta

Bandi Sugito Pelatda Jabar 2:24:20,00

Dadi Nurcahyadi Pelatda Jabar 2:27:28,98

Saikun ISSI Jambi 2:33:08,71

Women Elite – 5 Lap – 4 Peserta

Kusmawati Yazid Pelatda Jabar 1:38:04,39

Diana Intan Pelatda Jabar 1:43:24,96

Tri Kurniasari Kencana Bike Malang 1:52:08,90

Master A – 4 Lap – 53 Peserta

Agus Triyono Cilacap 1:09:17,12

Agus Jaelani Folker 1:11:11,68

Usman Marko Folker 1:12:55,42

Master B - 3lap – 24 peserta

Deden Dop Folker 0:53:19,89

Steven Gading Serpong CC 0:57:48,34

Pendi Teguh Setu/Parung 0:58:49,65

Master C – 2 lap – 30 Peserta

Arpan Biluk Gading Serpong CC 0:36:18,21

Tony Wijaya Kamurang Bike 0:36:29,81

Karnaedi Puspa CC 0:37:55,53

Monday, May 5, 2008

Hill Pertama, Peat Kedua


Downhiller Monster Iron Horse Team Sam Hill juara di ajang pemanasan kejuaraan dunia pada 4 Mei lalu. Sam Hill asal Australia ini juara di trek Val Di Sole, Italia dengan membukukan waktu tercepat 3 menit 19,42 detik. Waktu ini 22 detik lebih cepat dari pencapaian seeding run-nya. Sedangkan juara kedua dan ketiga di raih Steve Peat (Santa Cruz Syndicate) dan Fabien Barel (Subaru).

Margin waktu Peat dengan Hill mencolok. Peat menorehkan waktu 3 menit 24,60 detik, selisih 5 detik dengan juara dunia 2007 itu. Begitu juga Barel. Downhiller Perancis ini malah terpaut 7 detik dengan Hill. Sam Blenkinsop yang perkasa di seeding run juga tidak mampu mengalahkan waktu Hill. Downhiller Tim Yeti ini malah terperosok ke peringkat tujuh di final.

Event ini diikuti puluhan downhiller dunia: Floren Payet, Greg Minnaar, Nathan Rennie, Josh Bryceland, Pasqual Canals Flix, Matti Lehikoinen dan Chris Kovarik.

Tiga Seri Buat Absalon


UCI MTB WORLD CUP #3
Pembalap Perancis Julien Absalon mencatat hasil mengagumkan dengan memenangi ketiga seri kejuaraan UCI World Cup Cross Country Olympic (XCO) 2008. Setelah menjuarai dua seri sebelumnya, pembalap Tim Orbea ini melengkapinya di seri ketiga yang berlangsung di Madrid, Spanyol, 3-4 Mei lalu.

Berlangsung di sirkuit Casa de Campo sepanjang 7,8 kilometer, Absalon meraih juara dengan mencatatkan waktu tercepat 2 jam 12 menit 30 detik. Sebanyak 7 putaran (lap), peringkat satu dunia ini mampu mematahkan perjuangan pembalap tuan rumah Jose Hermida Ramos. Bahu membahu bersama rekan setimnya, Jean Christophe Peraud, Absalon mempecundangi Ramos dengan selisih waktu 12 detik.

“Saya berinisiatif menyerang (Ramos) saat memasuki turunan pertama di akhir 20 kilometer,” ujar Absalon dikutip cyclingnews.com. Sedangkan tempat ketiga diraih Peraud dengan margin 52 detik dari Absalon.

Dahle Flesja is Back
Pemegang enam gelar juara dunia XC Gunn Rita Dahle Flesja akhirnya meraih juara World Cup Series. Kepastian pembalap Norwegia ini merengkuh juara terjadi di beberapa meter menjelang finish. Drama adu sprint dengan Marie Helena Premont menjadi momen kembalinya pembalap berusia 35 tahun ini.

Flesja menyelesaikan lomba sebanyak 5 lap dengan waktu 1 jam 48 menit 14 detik. Torehan waktu itu selisih 1 detik dengan Premont asal Kanada. Di belakang Premont berturut-turut: Margarita Fullana( Tim Massi), Sabine Spitz (Tim Central Ghost Pro) dan Georgia Gould (Luna Women MTB Team).

Klasemen Sementara sampai seri ke-3

Elite Putra:

1. Julien Absalon (Perancis-Tim Orbea) 750 poin

2. Christoph Sauser (Swiss-Specialized Factori Racing) 445 poin

3. Christophe Jean Peraud (Perancis-Tim Orbea) 430 poin

Elite Putri:

1. Marie Helena Premont (Kanada-Rocky Mountain) 560 poin

2. Ren Chengyuan (Cina) 480 poin

3. Margarita Fullana (Spanyol-Tim Massi) 460 poin

Friday, May 2, 2008

Atlet Kencana Raih Banyak Juara

Foto: Sumanjaya Cycling Magz

Pada kejuaraan Urban DH dan XC yang baru pertama kali digelar di GWK, atlet Kencana Bike Malang menunjukan tajinya.

Harapan penggemar sepeda gunung downhill (DH) akan adanya kejuaraan Urban DH terwujud. Tepatnya 26 Mei, kejuaraan DH yang pertama kalinya digelar di area onroad (mix dengan offroad), terlaksana cukup meriah. Mengambil tempat di dalam Taman Kebudayaan Garuda Wisnu Kencana (GWK), di Bukit Ungasan Jimbaran Bali, kejuaraan ini dikuti 41 pembalap. Cukup meriah karena menghadirkan tiga atlet DH nasional: Popo Ariyo Sejati, Purnomo, dan Sugianto “Hoho” Setiyawan.

Lomba dimulai di hari pertama pukul 09.00 waktu setempat. Terbagi dalam empat kelas: Master A (usia 35 ke bawah), Master B (36-40), Master C (usia 41 ke atas) dan Open, para downhiller harus menempuh jarak 1,2 kilometer. Namun, untuk mendulang juara disini diperlukan fisik yang kuat. “Buat saya, trek ini melelahkan,” kata Mampuri dari Tim Rodalink Polygon Tuban mengenai banyaknya jalur datar.

Titik start terletak di ketinggian 120 meter di atas permukaan laut (dpl). Peserta dilepas di tempat start setinggi setengah meter, dekat patung Dewa Wisnu yang tingginya 22 meter. Rintangan pertama adalah turunan tangga, lalu wallride 1, menikung ke wallride 2 menuju turunan tangga, ketemu wallride 3 dan masuk jalur datar dengan empat cornering flat. Di sepanjang jalur ini, permukaannya adalah batu konblok. Setelah itu peserta menemui jalur tanah berjarak sekitar 400 meter.

“Jalur tanahnya sedikit licin,” ujar Popo mengomentari trek. Pihak penyelenggara, komunitas sepeda gunung Hillanders, membentuk berm dan tabletop dengan memanfaatkan tanah dan batu kapur yang berserakan disekitar komplek GWK. “Saat melewati berm, batunya merupakan batu lepas,” kata atlet Kencana Bike Team ISSI Malang ini.

Jalannya lomba berlangsung lancar, meskipun ada beberapa downhiller terjatuh. Kelas Open, yang merupakan eksibisi, mencatat nama Popo Ariyo Sejati sebagai juara. Popo berhasil menuruni trek dengan catatan waktu 1 menit 1,115 detik. Waktu ini lebih cepat 2 detik dari hasil seeding run yang ia raih. Di kelas ini, yang menyertakan 9 pembalap, Popo menyisihkan rekan setimnya, Purnomo dan Hoho.

Hasil kelas Master A tidak banyak berubah. Posisi pertama dan kedua seeding run sama dengan hasil final. Pembalap Elgato Yogyakarta, A. Panca Melipat meraih juara pertama dengan waktu 1 menit 8,554 detik, unggul 1 detik dari Benny Setyawan (Kencana Bike Team ISSI Malang). Kemudian disusul Iswendy Sohe (Charmdevo Linggau Sumsel) dengan torehan waktu 1 menit 11,616 detik, 2 detik lebih cepat dari hasil seeding run-nya.

Perubahan hasil tidak terjadi di kelas Master B. Zainul Siswanto mampu mempertahankan posisi pertamanya. Pembalap Kencana Bike Team ISSI Malang ini hanya mempertajam waktu seeding run 1 menit 12,410 detik menjadi 1 menit 8,104 detik. Tempat kedua dan ketiga direbut Ramon (Polygon-MTB Freeride Indonesia) dan Iwan (MTB Bali Freeride-Oakley).

Perubahan hasil yang signifikan terjadi di kelas Master C. Chandra Ariavijaya (Charmdevo-Oakley-Delmatic Bandung) yang superior di seeding run dengan waktu tempuh 1 menit 14,126 detik harus terpental dari tiga besar di final. Pentolan Charmdevo itu pun harus puas di peringkat 5. Juara pertama di kelas ini diraih Andreas Kuhn (Banshee Team Bali). Kemudian, disusul Imam Senewe (Elgato Yogyakarta) di tempat kedua dan Erwin C (Polda Bali) di posisi ketiga.

Usman Ali Juara XC

Trek cross country (XC) GWK Peak A Boo sepanjang 2,4 kilometer menjadi saksi bisu keperkasaan Usman Ali. Hampir disetiap putaran (lap), pembalap Kencana Bike Team ISSI Malang ini selalu memimpin peleton terdepan. Memutari trek sebanyak delapan lap (Men Elite), Usman tidak pernah tersalip oleh pembalap di belakangnya, dan menginjak finish pertama dengan waktu 57 menit 54 detik.

Persaingan seru di men elite justru terjadi di posisi kedua dan ketiga antara Andi Prasetyo dan Sugianto Gimo. Kedua pembalap ini saling berburu gelar runner up di sepanjang lap. Andi dari Kencana Bike Team ISSI Malang lebih dahulu merebut lap pertama dengan margin 2 detik dari Gimo.

Lap kedua gantian Gimo yang berada di depan dengan margin 1 detik dari Andi. Keunggulan Gimo yang membela ISSI Riau ini dipertahankan di lap ketiga. Namun di lap keempat sampai ketujuh, Gimo membiarkan Andi mendahuluinya. Bahkan gap keduanya semakin jauh. Rata-rata waktu, Andi unggul 15 detik dari Gimo.

Saat di lap terakhir, Gimo menambah kecepatan kayuhannya. Tepatnya di puncak terakhir (Peak A Boo), mantan atlet nasional berusia 36 tahun ini menyalip Andi. Tidak tinggal diam, Andi pun terus menguntit Gimo. Menjelang 20 meter mendekati garis finish, Gimo tetap terdepan. Sekitar 5 meter, Gimo melepas pegangan handlebars-nya. Namun, di belakangnya Andi terus melakukan sprint, berusaha menyalip Gimo, tapi gagal.

Gimo menyelesaikan lomba dengan catatan waktu 1 menit 0,52 detik. Selisih 1 detik dari Andi yang merebut juara ketiga. “Saya ini bertarung di sini habis-habisan. Usia saya 36 tahun, dan harus diadu dengan pembalap muda, “ ujar Gimo. “Umur segini, saya itu cocoknya turun di master,” katanya. Namun, tambahnya, tidak mengangka saja saya masih bisa juara.

Andi yang meraih juara tiga mengaku kecolongan gelar dari Gimo. “Saya tidak mendengar bunyi kentungan dari panitia di lap terakhir,” ujarnya. Sehingga saya membiarkan begitu saja Gimo menyalip saya di puncak terakhir. “Ketika panitia mengibarkan bendera, baru saya tahu ini lap terakhir,” tambahnya.

Lomba XC yang baru pertama kali di gelar di trek ini, diikuti 108 peserta dari beberapa daerah. Seperti: Kalimantan Selatan, Malang, Jateng, Yogyakarta, Riau, Bali dan Tulungagung. Lomba ini terbagi dalam lima kelas : Elite Men, Women Elite, Junior Atlet, Master, dan Executive. “Kejuaraan ini rencananya akan kami tingkatkan menjadi Kejurnas tahun depannya,” kata Ketua Penyelenggara Jonie R. Noor.

Hasil Lengkap

Urban Downhill:

Master A
1. A. Panca Melipat (Elgato Yogyakarta) 1’08”,554
2. Benny Setyawan (Kencana Bike Malang) 1’09”012
3. Iswendy Sohe (Charmdevo Linggau Sumsel) 1’11”616

Master B
1. Zainul Siswanto (Kencana Bike Malang) 1’08”104
2. Ramon (Polygon-MTB Freeride Indonesia 1’12”169
3. Iwan (MTB Bali Freeride-Oakley) 1’12”297

Master C
1. Andreas Kuhn (Banshee Team Bali) 1’15”803
2. Imam Senewe (Elgato Yogyakarta) 1’19”047
3. Erwin.C (Polda Bali) 1’23”997

Open
1. Popo Ariyo Sejati (Kencana Bike Malang) 1’01”115

Cross Country Challenge:
Kelas Executive - 3 Lap:
1. Ketut Sukarta (Lelasan Berseri Bali) 27’30”
2. Gatot Muhammad (Padma Bike Bali) 27’31”
3. Greg Parker (Privater Bali) 27’32”

Kelas Master - 4 Lap:
1. I Made Karang (dede) (MACA Lombok) 32’28”
2. Dwi Ratsongko (Gilass Surabaya) 32’34”
3. I Dewa Made Astawa (MACA Lombok) 37’22”

Junior Atlit – 6 laps:
1. I Dewa Nyoman Triadi (MACA Lombok) 51’24”
2. Mas Permadi (ISSI Malang) 52’35”
3. Angga Mujianto 1.00’13”

Elite Men – 8 laps:
1. Usman Ali (Kencana Malang) 57’45”
2. Sugianto Gimo (ISSI Riau) 1.00’52”
3. Andi Prasetyo (Kencana Malang) 1.00’53”

Elite Women - 5 Lap:
1. Sri Suyamti (ISSI Jateng) 46’08”
2. Putri Yushica (ISSI Jateng) 47’24”
3. Tri Kurniasari (Kencana Malang) 51’26”

Lomba Urban DH Itu Ada

Foto: From Sepedaku.com/Fadetoblack

Setelah sukses dengan pergelaran Urban DH pertama di Indonesia, event ini rencananya akan rutin diadakan tiap tahunnya.

Saat sebuah iklan kejuaraan sepeda gunung GWK XC Challenge 2008 muncul di banner situs sepeda terkemuka di Indonesia, Sepedaku.com, web ini kontan kebanjiran pertanyaan pengunjung. Entah itu pertanyaan seputar trek, hadiah, kelas yang dilombakan, atau foto tempat yang bakal dipakai lomba. Namun, menurut saya, daya tarik lain yang menyebabkan pegakses situs itu mau singgah ke halaman iklan itu adalah nomor lain yang dilombakan.Yaitu, Urban Downhill (DH).

Pihak panitia, dalam hal ini komunitas sepeda gunung Bali, Hillanders, mencoba menjadi pencetus lomba Urban Downhill (DH) pertama di Indonesia. Sebagai sebuah lomba yang baru ada, tentunya ini menarik minat penyuka sepeda gunung jenis DH. Tidak heran bila iklan dan pengumuman lomba ini di akses 5133 kali dengan 188 jawaban atau pertanyaan. Jika dilihat dari empat halaman pertama item news, iklan ini paling banyak diakses. “Ide pertama kali bikin urban downhill berkat masukan rekan-rekan MTB Community Bali,” ujar Jonie R.Noor, Ketua Penyelenggara.

Urban DH dimainkan di dalam area Taman Kebudayaan Garuda Wisnu Kencana (GWK), di Bukit Jimbaran, Bali. Peserta diharuskan menuruni tangga dari depan Patung Wisnu menuju patung tangan Wisnu. --Konon sambungan tangan ini akan digabung dengan badan, kepala Wisnu serta burung Garuda--Total jarak dari start hingga finish menempuh 1,2 kilometer.

Rintangan yang tersaji dalam trek meliputi: turunan melewati tiga tangga, tiga tikungan menggunakan wallride, jalur datar yang dilengkapi jump box untuk melompat, berm dari batu kapur, cornering flat, table top dan drop off. Permukaan trek adalah paduan jalan aspal (batu konblok) dan tanah bercampur batu kapur. Komposisinya 70 persen batu konblok, 30 persennya tanah.

Dalam lomba yang berlangsung 26 April 2008, waktu tercepat permainan Urban DH dipegang Popo Ariyo Sejati. Atlet nasional ini membukukan waktu 1 menit 1,115 detik. Tempat kedua diraih rekan setimnya (Kencana Bike Malang), Sugianto “Hoho” Setyawan dengan margin 1 detik.

Namun, catatan waktu tercepat itu terjadi di kelas Open. Ini kelas eksebisi yang “mengadu” jawara DH Indonesia, atau sering disebut kelas Men Elite. “Sebelumnya kelas ini tidak ada dalam rencana kami. Namun karena kami kedatangan atlet sekelas Popo, maka kami adakan. Ini pun untuk memeriahkan saja,” ujar Ibunk, yang bersama rekan-rekan Hillander “amplopan” untuk memberi suatu bentuk penghargaan ke Popo.

Kelas Master terbagi jadi tiga kategori. Peserta berusia 35 tahun ke bawah masuk Master A. Peserta usia 36-40 masuk Master B. Sedangkan 41 tahun ke atas turun lomba di Master C. Dari ketiga kelas ini, catatan waktu tercepat antara Master A dan B hampir sama. Namun hebatnya, Master B yang notabene sudah bukan “anak muda” lagi, bisa mengalahkan waktu tercepat di Master A.

Peserta Master B yang tangguh itu adalah Zainul Siswanto. Pelatih Tim Kencana Bike Malang ini begitu cepat kala menuruni tangga dan melahap rintangan buatan. Catatan waktunya 1 menit 08,104 detik. Lebih cepat 0,450 detik dari peserta tercepat di Master A, Panca Melipat dari Elgato Yogyakarta.

Dari kelas Master C, nasib sial menimpa mantan downhiller 30 dunia, Chandra Ariavijaya. Memimpin di seeding run dengan waktu 1 menit 14,126 detik, Chandra harus rela posisi teratasnya direbut Andreas Kuhn (Banshee Team Bali) di final. Pentolan Charmdevo itu hanya mampu menduduki peringkat 5 dengan waktu 1 menit 27,703 detik. “Rantai saya sempat copot. Terus saya coba pasang kembali, tapi lumayan lama waktu yang terbuang,” ujar Chandra yang membela Tim Charmdevo-Oakley-Delmatic Bandung ini.

Aksi peserta Urban DH dalam menuruni tangga menjadi perhatian pengunjung. Wisatawan lokal maupun internasional sempat berhenti sejenak di belakang police line untuk melihat aksi downhiller. Melihat pemandangan seperti ini tentunya membanggakan buat perkembangan DH di Indonesia dan pihak GWK. Jadi, kejuaraan DH yang umumnya hanya disaksikan oleh komunitas pesepeda saja, dengan jenis permainan baru ini, masyarakat umum juga dapat menontonnya. Begitu pula dengan pihak GWK. Keberadaan event ini diyakini dapat menarik minat pengunjung, serta menjadi alternatif lain objek wisata GWK.

Angin segar pun berhembus. General Manager GWK Cultural Park Angkoso B. Soekadari mendukung pelaksanaan event urban DH ini. Ia mengusulkan agar event ini tetap dilaksanakan di GWK tahun depan. Senada dengan Angkoso, Ketua Harian Koni Bali, I Gusti Bagus Alit Putra juga mengambil sikap mendukung. Ia pun juga memberi usulan agar event Urban DH di Bali ini dapat dikembangkan menjadi program pariwisata di Bali. “Sebaiknya ini dapat dijadikan sarana berolahraga sambil berpariwisata dan pariwisata sambil olahraga,” ujar I Gusti Bagus Alit Putra ini dalam sambutannya.

Hasil Gotong-royong

Proyek pengerjaan lomba bertajuk GWK Peak A Boo XC Challenge dan Urban DH 2008 dikerjakan tanpa event organizer. Semua tenaga berasal dari anggota Hillanders dan volunteer. Mengenai anggaran, masing-masing anggota menyumbang dan ditambah dengan bantuan dari pihak sponsor: PT.Insera (Polygon Cycle) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Mengenai berapa jumlah patungan per anggota tidak perlu saya bahas. Menurut penjabaran Ibunk, semua anggota Hillanders intinya memberi sumbangsih. Dari semua anggota Hillanders menyumbang sesuatu demi kebutuhan lomba. Ada anggota yang kerja di Hard Rock Café, menyumbang venue (Hard Rock Café) untuk penyerahan hadiah dan closing ceremony. Ada yang kerja di bidang fotografi, memberikan jasa foto perlombaan. Ada yang kerja di web company, menyumbang satu web demi kebutuhan informasi peserta akan informasi lomba. Kemudian ada yang kerja di pembuatan kaos, menyumbang desain dan penjualan kaos event.

Kekompakan komunitas Hillanders itu patut ditiru. Mereka mengadakan lomba bukan untuk mencari keuntungan komersil. “Kami bikin event untuk tepo seliro ke rekan-rekan sepeda gunung yang ada di luar Bali,” ujar Ibunk. Makanya, tambah Ibunk, kalau dari segi perlombaan dan trek Urban DH ada yang salah, kami butuh masukan untuk event tahun depan. Jika sebagian ingin mengkritik, kasihlan kritik yang membangun. Karena berkat tambahan event ini, yang rencananya akan rutin digelar tiap tahunnya, makin menambah deretan lomba sepeda gunung di Indonesia. (Tomi Nala)