Thursday, June 19, 2008

Tour de Toba 2008: Har’s Management Rebut Dua Gelar


Sulaiman, 27 tahun, menjadi pembalap tercepat. Pembalap tim Har’s Management itu mengumpulkan total waktu 7 jam 21 menit 15 detik dalam kejuaraan Mountain Bike On the Road Tour de Toba, 13-16 Juni lalu. Kemenangan Sulaiman ditentukan di etape terakhir (etape keempat) dari Bukit Beta Tuk-Tuk menunju Nainggolan.

Dalam etape berjarak 81 kilometer itu, Sulaiman finis pertama dan saingannya Ahmad Yani terpental di posisi 10. Hasil itu memaksa Yani dari ISSI Riau merelakan singgasananya di puncak klasemen. Yani lambat 8 detik dari Sulaiman. Untuk tempat ketiga direbut Yadi Supratyo, juga dari ISSI Riau dengan catatan waktu 7 jam 22 menit 27 detik.

Pembalap Har’s Management juga memperoleh gelar dari kategori junior. Raihan itu dipersembahkan Azhari Yusuf, 17 tahun. Yusuf menyisihkan Mohammad Aim M Fauzi asal Malaysia dengan margin waktu 1 menit.

Dari kategori veteran menobatkan Edi Purnomo sebagai juara pertama. Pembalap ISSI Banyumas itu menyelesaikan seluruh etape sepanjang 203 kilometer dengan waktu 5 jam 30 menit 15 detik. Torehan waktunya lebih cepat 5 menit dari Danny Khaw asal Malaysia yang menduduki peringkat kedua.

Hasil Lengkap MTB On the Road Tour de Toba 2008:

Kategori Senior – 252 Km:
1. Sulaiman Har’s Management Medan 7:21:15
2. Ahmad Yani ISSI Riau 7:21:23
3. Yadi Supratyo ISSI Riau 7:22:27

Kategori Junior – 203 Km:
1. Azhari Yusuf Har;s Management Medan 5:49:41
2. Mohammad Aim M Malaysia 5:50:01
3. Munawar Sajali Pengprov Sumut 5:51:10

Kategori Veteran – 203 Km:
1. Edi Purnomo ISSI Banyumas 5:30:15
2. Danny Khaw Malaysia 5:35:52
3. Lee Ching Hoe Malaysia 5.40.05

Kategori Tim:
1. ISSI Riau 22:14:33
2. Malaysia 23:28:02
3. ISSI NAD 23:40:42



Monday, June 16, 2008

Latihan Drop Off: Berlatih Dari yang Rendah


Keberanian, teknik dan dimulai dari turunan drop off rendah, bakal membuat Anda mahir melahap rintangan drop off.

Bertemu turunan drop off kala bermain sepeda gunung, kerap bikin nyali ciut. Apakah kita mesti menuruninya atau menuntun sepeda? Demi keselamatan dan terampil melalui turunan drop off, berikut sedikit tips latihan dasarnya.

Persiapan
Turunan drop off memiliki banyak karakter. Entah itu area landing miring atau yang sedikit datar. Apakah turunan yang tinggi atau rendah. Ataukah turunan seperti anak tangga, yang terdiri dari banyak turunan, dengan diselingi sedikit permukaan datar. Atau mungkin juga drop off buatan yang ditahan oleh kumpulan tanah dalam karung, yang memiliki ketinggian sekitar satu meter, untuk permainan downhill?

Banyak kemungkinan yang bakal Anda temui saat mengendarai tunggangan di area pegunungan atau arena downhill. Sebelum memulai aksi menuruni drop off, alangkah baiknya Anda menumbuhkan rasa keberanian. Dalam hal ini mental. Anda tidak bakal tahu bisa atau tidak sebelum mencoba. Tentunya dengan mengenakan body protector.

Tempat Berlatih
Pertama yang mesti dimulai adalah mencari tempat nyaman buat berlatih. Telusuri tempat permainan downhill atau area permainan sepeda gunung. Pilihlah karakter turunan drop off rendah. Mungkin Anda bisa menyambangi trek sepeda Universitas Indonesia, Cikole, trek Gunung Pancar atau trek Gunung Pinang. Di arena itu tersedia drop off rendah.

Drop off rendah lebih aman ketimbang yang tinggi dengan area landing panjang. Buat seorang pemula, drop off tinggi dan panjang tidak disarankan untuk dicoba. “Untuk seorang pemula baiknya berlatih di drop off yang memiliki ketinggian 30 sentimeter,” kata Sugianto “Hoho” Setyawan, downhiller nasional Indonesia.

Teknik Latihan Dasar

Buat pemula, melatih mengangkat ban depan terlebih dahulu merupakan suatu keharusan. Ini baik untuk membuat sepeda berada di bawah kendali Anda dan menjaga keseimbangan sepeda saat mendarat. Pada landasan datar, Anda harus mendarat dengan roda belakang dahulu. Namun, posisi roda depan juga tidak terlalu tinggi dari roda belakang.

Sebaliknya, bila yang Anda temui landasannya miring dan menurun, roda depan mesti di dahului. “Saat menuruni landasan seperti ini, usahakan mendahului ban depan. Beban sebisa mungkin ada di belakang, untuk menghindari Anda terpelanting ke depan,” saran Hoho, yang pernah menjadi Juara Downhill Asia tahun 2005. Saat mau mencoba, seat post diturunkan sampat titik terendah dan tangan tidak boleh kaku.

Masih menurut Hoho, pegangan tangan di grip juga harus kuat. Ini buat menahan stang dan menahan goncangan sepeda saat jatuh ke tanah. Sementara posisi lengan crank saat mau melewati drop off, horizontal.

Teruslah rutin menuruni turunan drop off rendah tadi. Seringnya Anda berlatih, ditambah pemahaman teknik yang baik, lambat laun Anda akan mahir. Dan bakal timbul keberanian menuruni drop off tinggi dengan landasan panjang. Baiknya lagi, saat latihan, ajak teman Anda yang sudah mahir.

Ingat, setiap akan menuruni turunan drop off pandangan Anda fokus ke lintasan. Dan di dalam setiap latihan, kecelakaan bisa terjadi. Oleh karena itu disarankan memakai pelindung tubuh. “So don’t worry to get hurt”.

Thursday, June 5, 2008

Absalon Tetap Teratas


Menyebut siapa pemegang tahta tertinggi cross country, banyak pecinta sepeda menjawab Julien Absalon. Ambisinya mempertahankan emas olimpiade hingga 2012.

Membicarakan sosok Julien Absalon, akan lebih menarik bila melihat segi prestasi dan impiannya. Dari kedua tema itu, banyak sesuatu yang mengundang decak kagum dari lelaki kelahiran 16 Agustus 1980 itu. Segi prestasi, tidak perlu menilik jauh ke belakang. Paling hangat dan baru adalah keberhasilannya menjuarai tiga seri World Cup Cross Country 2008. Di tiga seri itu, Absalon begitu digdaya. Ia berharap, kedigdayaannya ini bakal menular di Olimpiade Beijing dan Kejuaraan Dunia di Italia nanti.

Cerita kedigdayaan penunggang sepeda Orbea Alma di tahun ini dimulai dari seri pertama di Houffalize, Belgia. Di kota seluas 166.58 kilometer persegi itu Absalon juara. Ia mempecundangi musuh bebuyutnya asal Spanyol, Jose Hermida Ramos dan pembalap Swiss, Christoph Sauser.

Kesuksesan episode pertama berlanjut ke episode-episode berikutnya. Ia mengantongi gelar juara di seri kedua di Offenburg, Jerman dan seri ketiga di Madrid, Spanyol. Tiga seri awal ia lahap habis. Ketangguhan di medan cross country seakan tiada tanding lagi. Padahal seri World Cup bukan prioritas utama yang harus diraih musim ini. “Saya memiliki rencana untuk mencapai puncak tahun ini di olimpiade dan kejuaraan dunia,” ujarnya.

Olimpiade Beijing di China dan World Championships di Italia target utamanya. Ia berkeinginan mengantongi medali emas di dua event besar itu. Sebagai favorit juara, ia mengaku bakal sulit memburu dua gelar itu. “Ramos (Hermida) lebih fokus di World Championships. Sedangkan pembalap Swiss akan menjadi pesaing berat di olimpiade,” ujarnya.

Mendapati emas di dua event besar dalam karir sepeda gunungnya bukanlah yang pertama. Absalon pernah merasakan dua gelar prestisius di cabang balap sepeda gunung cross country itu. Ia mengalungi medali emas Olimpiade Athena tahun 2004. Itu tambahan satu emas yang membawa Perancis menduduki peringkat 7 dunia saat itu. Di pentas dunia, dalam World Championship, ia adalah pemegang rekor terbanyak juara. Catatan buku induk balap sepeda dunia (UCI) menulis nama Absalon sebanyak empat kali. Ia juara dunia tahun 2004 di Perancis, 2005 di Italia, 2006 di Selandia Baru dan 2007 di Skotlandia.

Daftar juaranya makin lengkap kalau menilik kompetisi lain. Ia meraih poin terbanyak di World Cup Series 2003 dan berhak juara dengan menyisihkan Christoph Sauser asal Swiss. Tiga tahun kemudian, tepatnya 2006 ia mengulangi lagi. Sama dengan yang dulu ia juara setelah mengalahkan Sauser. Gelar ini ia pertahankan tahun berikutnya.

Kalau mau dijejali list juara di kompetisi rendah yang pernah diraih penyuka musik rap ini teramat banyak. Singkat saja, ia empat tahun berturut-turut juara nasional Perancis. Juara dua Eropa 2005, juara satu di Val di Sole Cup, MTB Alpago, GP Provinicia di Lucca tahun 2005. Semua pencapaiannya itu menobatkannya sebagai pembalap XC peringkat pertama dunia.

Dari rangking dunia yang dikeluarkan UCI baru-baru ini, Absalon tetap dengan kursi kerajaannya. Ia berada di posisi teratas “kerajaan” cross country. Mungkin singgasananya itu tidak bakal tergeser selama dua musim lomba. Bisa saja ia lengser, namun itu banyak syaratnya. Itu juga kalau Sauser yang bercokol di bawahnya selalu juara dan Absalon tidak merebut poin sama sekali. Namun hal itu kelihatannya bakal sukar terjadi. Selisih poin 803 antara Absalon dan Sauser di kategorikan jauh. Terlebih disaat Absalon sedang dalam masa keemasan.

Absalon memang dalam top condition tahun ini. Hampir setiap kejuaraan yang kerap diikuti berbuah juara. Enam kejuaraan yang disambangi termasuk World Cup Series berhasil dijuarai. Sisa tiga kejuaraan itu adalah: Gran Prix Massi Spanyol, Coupe de France VTT Subaru Parancis dan Roc Laissagais.

Kesusksesan di atas tanah liat turut membawa warga Saint Ame Perancis ini ditasbih banyak penghargaan bergengsi. Dua buah media terkemuka mengenai kereta angin, Velo News dan Cyclingnews, menobatkannya sebagai the best rider. Ia memperoleh Velo d’Or award tahun 2004, 2005, 2006 dan 2007. Sedangkan Cyclingnews membapstis Absalon sebagai pembalap sepeda gunung terbaik tahun 2004, 2006 dan 2007.

“Saya gembira atas gelar itu (Velo d’Or Award 2004). Ini menandakan sepeda gunung sama populernya dengan sepeda road dan tentunya sepakbola,” ujarnya saat itu. “Saya akan terus berusaha mengangkat olahraga ini sepopuler road.”

Absalon bangga mengambil profesi atlet sepeda gunung. Ia tidak malu kalau sepeda gunung itu kalah prestisius ketimbang sepeda road. Bahkan beberapa wartawan sempet mengomentari penghargaan yang ia raih saat itu. Beberapa wartawan mengatakan kalau ia bisa mendapat lebih jika berada di jalur sepeda road.

“Ketika itu saya berujar tidak. Saya bilang saya adalah seorang mountain biker. Saya mau mengangkat olahraga ini. Suatu saat sepeda gunung pasti akan menjadi lebih terkenal,” ujarnya.

Olahraga sepeda gunung begitu ia cintai. Padahal olahraga off road ini bukanlah olahraga favorit pertamanya sewaktu kecil. Olahraga ini digeluti Absalon setelah “bosan” dengan judo dan ski. “Kedua olahraga itu telah membantu saya menyesuaikan diri dengan sepeda gunung,” ujarnya.

Kedua olahraga itu membantu Absalon memahami teknik dasar permainan sepeda gunung. Bagaimana ia tahu cara jatuh yang baik. Bagaimana caranya menjaga keseimbangan. Dan bagaimana caranya merubah arah. Setelah sponsornya tidak lagi mengizinkannya mengikuti ski, ia beralih ke sepeda gunung.

Absalon memulainya usia 14 tahun. Usia yang menurutnya telat untuk mengawali suatu olahraga baru. Kompetisi pertamanya menempatkan dirinya di peringkat tujuh. Berikutnya, di setiap kejuaraan, ia sering menduduki lima besar. “Kemenangan pertama saya terjadi tahun 1997. Saya menang di tingkat junior,” ujarnya. “Setelah itu hidup saya (sepeda gunung) berlangsung cepat.”

Kehidupan Absalon berlangsung cepat bak arus deras. Kilauan emas dirinya terjadi tahun 2003, kala ia mengagetkan dunia dengan menyabet gelar World Cup dalam usia 23 tahun. Setiap kejuaraan, usai tahun itu, kerap ia menangi. Absalon terlalu mendominasi kelas elite men cross country dunia. Baginya, emas olimpiade Beijing bukan puncak karirnya. Masih ada olimpiade London 2012 yang juga ingin ia gapai. “Saya akan berusia 32 tahun di sana (London),” ujarnya.

Tuesday, June 3, 2008

Penuh Super Tanjakan


Foto-Foto: Nirfan Rifki

Sedikit mengutip nama sebuah kejuaraan endurance, 12 or 24 hours Adrenalin, jelajah kali ini sedikit menyerupai. Perjalanan kami adalah 11 hours adrenaline yang didominasi super tanjakan.

Panas, terik matahari menyengat tubuh. Pepohonan di sisi kiri tidak bisa menghilangkan sengatan sang surya. Kepala hanya menunduk. Tidak berani saya menatap jauh ke depan. Yang saya perhatikan cuma jalan yang “ditanami” batu kali. Lebarnya sekitar 2 meter dengan sisi kiri kanannya permukaan tanah. Kontur tanah kering dan keras ini saya manfaatkan buat pijakan kaki. Sedangkan yang jalan berbatu saya gunakan untuk meletakan ban sepeda. Perlahan-lahan, langkah demi langkah, sekuat tenaga yang masih tersisa di dalam tubuh, saya keluarkan buat mendorong sepeda.

Setiap 10 meter saya berhenti. Mengambil air putih di bidon (botol minuman) yang tercantol di down tube sepeda. Dua tegukan air, melepas helm sepeda, lalu menyiram air di kepala, sedikit menolong rasa lelah dan sengatan matahari. Melongok ke belakang, Pepi Novri, rekan jelajah saya bersusah payah mendorong sepeda “panci”-nya. Sepeda jenis all mountain itu ia paksa dorong.

Sesekali saya mencuri pandang ke arah depan jalan, astaga, tanjakan ini masih panjang. Padahal saya dan rekan: Nirfan Rifki, Dhoni Bima, Hendrik, dan Pepi Novri, sudah menuntun sepeda sejauh 100 meter. Walaupun kami sering bersepeda, jelajah berkali-kali, medan tanjakan yang dilalui kali ini sangat sulit dan panjang. Saya yang memakai sepeda jenis cross country hard tail, dan Dhoni memakai sepeda dirt jump, sudah berusaha mengayuh sepeda di awal tanjakan. Namun, sekejap daya tahan kaki melemah. Berkali-kali ban ngesot, tidak bersahabat dengan permukaan berbatuan tajam.

Ben Kenda Kinetic berukuran 26 x 2.10 yang saya pakai, tidak bercengkerama dengan baik. Licin. Yaa, tentu saja, karena semalam Kampung Ciaul, Desa Mekarjaya, Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat, tersiram air hujan. Yang kontur tanahnya lembek kian becek, yang keras sudah mengering terkena panas matahari.

Selama menuntun sepeda tidak jarang keluar sumpah serapah dari teman. “Ah, gila,” gerutu Hendrik, ekstra lelah, akibat mendorong sepeda downhill yang ia pakai pada jelajah ini. “Parah,” ujar Pepi singkat. Seolah mulutnya terkunci, tidak dapat mengeluarkan kalimat panjang. Bahkan Nirfan, penasehat dan guru kami perihal teknis sepeda gunung, berujar saat istirahat, kalau hidungnya tidak bisa mengeluarkan nafas. Tersendat. Mau tidak mau mulutnya menganga, buat membuang nafas.

Ini medan super tanjakan. Ini pendakian. Mungkin sedikit sama dengan satu etape pegunungan Tour de France, L,Alpe d Huez, yang memiliki ketinggian sekitar 1000 meter di atas permukaan laut. Namun, tentunya yang kami lalui tidak setinggi itu. Tapi treknya yang nanjak mulu. Edan, sinting, gila. Dalam hati saya menggerutu, “Ini mendaki gunung apa main sepeda.”

Padahal medan tanjakan ini satu dari puluhan tanjakan yang kamu lalui dalam perjalanan jelajah dari Desa Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat menuju Desa Gunung Malang, Cikidang, Sukabumi, Jabar. Masih banyak tanjakan-tanjakan lain yang menguras tenaga, seperti halnya pendaki yang sedang naik gunung. Namun, yang kami jalani lebih berat. Daypack berisi perlengkapan individual: baju, celana, pompa, logistik, rain coat, plesit, dan trangia, sama dengan isi tas carrier pendaki. Bedanya, beban kami ditambah dengan mendorong sebuah sepeda gunung.

Dari puluhan medan tanjakan, mungkin satu atau tiga medan bisa saya lahap dengan mengayuh sepeda. Namun, banyak pula yang mengibarkan bendera putih, alias menyerah, dan kesal harus tuntun-tuntun bike (TTB). Seperti tanjakan di Kampung Sorogoh, Desa Mekarjaya, Kabandungan, Sukabumi. Dalam perjalanan menuju kampung berikutnya, yakni Kp.Cikurutuk, jalan berbatuan tajam, dihiasi basahan air hujan, saya tidak bisa mengayuh maksimal. Meskipun gear sepeda saya tempatkan ke posisi teringan, tetap saja ban sepeda tidak mencengkram baik. Akibatnya, roda ban cuma spin (memutar di tempat) saja.

Dari Cikurutuk menuju Kp.Lemah Duhur, tanjakan sinting kembali saya temui. “Busyet deh. Ini benar sinting tanjakannya,” ujar saya, menghadap Pepi yang berada di belakang. “Iya. Ini sih lebih parah dari jelajah sebelumnya,” komentar Pepi, yang mengenakan helm dirtlid, pelindung kepala buat permainan sepeda dirt jump.

Selama mendorong sepeda di kampung ini, menemui tikungan patah, saya dan teman berharap, setelah itu jalan datar atau turunan. Agar kami bisa mengistirahatkan kaki barang sejenak. Seperti biasa, setiap menemui medan ngehe, kepala saya tundukan. Kemudian sejenak mendengak, mengintip jalan ke depan, ada tikungan patah. Langkah demi langkah, tubuh berjalan lunglai, berharap menemui turunan, jalan datar, atau sebuah warung makan yang menyediakan minuman dingin nan segar. Namun, saat kepala saya mendengak, melongok setelah akan membelok, astagfirullah, tanjakan lagi.

Jarak yang saya lalui dari awal menanjak hingga menemui medan datar, sejauh 500 meter. Sepanjang itu kami TTB. Sinting. Beragam kata dumelan kerap keluar di mulut. Teguran ramah penduduk yang lalu lalang di jalan itu kami jawab dengan singkat. Sekali saya menanyakan kondisi jalan berikutnya. “masih nanjak mas,” kata penduduk yang lewat, seorang lelaki setengah baya berpakaian pegawai negeri sipil yang hendak ke kantor kelurahan untuk membagikan uang Bantuan Langsung Tunai (BLT).

“Merata juga pembagian bantuan uang dari pemerintah dampak kenaikan BBM akhir pekan lalu,” gumamku dalam hati. Karena sepanjang saya melewati rumah penduduk Kecamatan Kabandungan, rumah yang berdiri terlihat sederhana. Panjang rumah tidak lebih dari 7 meter. Bahkan guna mencari warung yang menyediakan minuman dingin sulit kami temui. Anak-anak kecil berseragam merah putih yang hendak menuju sekolah hanya mengenakan sendal jepit.

Hendrik, rekan saya yang jalan lebih dahulu dan beristirahat sejenak di sebuah sekolah dasar, heran. Satu persatu murid sekolah itu bersalaman dengannya. Sopan, sederhana dan sedikit norak kala melihat sepeda kami. “wuiih ada rem cakramnya,” celetuk seorang bocah lanang berkulit hitam, yang saya taksir berusia 6-7 tahun. Terkadang kerumunan bocah itu berteriak, “balap sepeda.”

Pandangan bocah itu terus tertuju ke kami. Meskipun kami sudah melintas jauh dari kerumunan bocah itu, pandangannya tetap tajam. Walaupun jauh, kami sengaja menoleh ke arah kerumunan bocah itu. Karena Nirfan, selaku fotografer, masih berada diantara bocah itu, guna mengabadikan kami dengan latar depan mereka. Kalau Nirfan ingin mengabadikan perjalanan ini, berarti itu kesempatan kami buat foto sesion dan istirahat. Tidak lama, namun lumayan buat mengusir rasa letih.

Tanjakan panjang terjadang bikin kami jengkel. Perjalanan menuju Kp Lemah Duhur itu menyiksa tangan dan kaki kami. Mending kalau kami berkali-kali ketemu jalan datar, hingga bisa beristirahat dan mengayuh sepeda. Perjalanan ke Lemah Duhur itu menyisakan kebencian mendalam dalam diri. Penuh dendam dan hanya bisa dihilangkan dengan sebuah minuman segar dingin. Namun, apa mau dikata. Warung makan yang kami singgahi tidak menyediakan obat penghilang dahaga itu.

Di meja dan digantungan hanya tersedia kerupuk, kacang, dan makanan kecil lain. Tidak ada minuman bersoda. Beruntung tukang es dawet pikul melintas di hadapan kami. “Ada es-nya bang?” tanya Dhonie. “Ada”, jawabnya si penjual itu. “Akhirnya nemu juga es,” kata Dhonie. Di Kecamatan Kabandungan itu kami memang kesulitan mencari minuman dingin. Bahkan penjual es cendol yang kami temui sebelumnya, tidak menggunakan es. “nama daganganya pun kami plesetkan, kalau itu adalah penjual cendol.”

Cukup lama kami beristirahat di sebuah warung yang dilayani dengan ramah oleh empunya. Lima mangkuk mie rebus beserta nasi melengkapi peristirahat makan siang. Kerumunan bocah kecil berjongkok di depan sepeda kami. Anak perempuan mengenakan jilbab dan anak laki-laki memakai peci menenteng sebuah buku kecil, mengamati sepeda kami. “habis ngaji ya dik? tanya Nirfan. Anak perempuan berusia 6 tahun yang disapa itu hanya senyum lantas lari tanpa menjawab.

Berbagai prilaku yang kami tangkap kala menyapa anak kecil setempat. Ada yang ramah, sopan, pemalu, agresif, dan pendiam. Terkadang ada bocah yang membantu kami mendorong sepeda seusai “menyantap” tanjakan berikutnya. Saya melihat Hendrik menuntun sepeda downhill Fastrax Monocoque AL 7005 dengan dibantu anak kecil. Saya pun kebagian bantuan tenaga anak kecil itu. Namun dengan sopan saya tegur, “tidak usah dik, nanti capai lho.”

Keceriaan anak-anak kecil itu mengikuti kami, mengamati sepeda kami, dan mengomentari sepeda kami, mengisi lembar tulisan jelajah ini. Orang dewasa mendekati kami, menyapa ramah kami dan menawari minuman. Keramahan yang mungkin tidak didapat di ibukota Indonesia. Benar-benar sebuah teguran hangat buat kami dari penduduk yang mayoritas adalah petani. Mereka menamam segala sayuran dan buah, yang kata salah seorang warga Kp.Siren, hasilnya itu dikirim ke Pasar Induk dan Pasar Minggu Jakarta.

Keletihan sudah terlihat disemua kru jelajah termasuk saya. Turunan panjang dan pendek sebisa mungkin kami nikmati. Bahkan trek menurun layaknya permainan sepeda downhill sering ditemui dalam perjalanan sejauh 25 kilometer ini. Yang menikmati tentu saja Hendrik dengan sepeda downhill-nya. Medan berkontur tanah dan batu tajam dilahapnya, seperti halnya ia menyusuri trek downhill Cikole, Bandung, Jabar dalam setiap event yang diikutinya. Demikian pula dengan Pepi yang kerap turun di balapan downhill. Sepeda full suspension pancinya pun sangat pas menuruni turunan curam, membelah pohon bambu dan melintasi perumahan penduduk.

Sebagai obat stres setelah mendaki “gunung” dengan membawa sepeda, turunan itu benar-benar obat mujarab. Kelelahan yang melanda kami spontan hilang, kala menikmati turunan sepanjang 600 meter di Kp.Cilengsir, Desa Ciangkrik. Namun, begitu cepatnya kami menuruni rute itu. Dan sangat disayangkan. Harusnya turunan panjang itu sepantasnya dijadikan pelabuhan terakhir perjalanan ini. Tapi bukan itu kenyataannya. Untuk mencapai Desa Gunung Malang, Cikidang, Sukabumi, kami mesti mendaki.

“Kita lewat sini?” tanya Nirfan kaget. “kata ibu itu, yang ada di belakang Pepi, arah menuju Gunung Malang itu naik bang,” jawan Dhonie. “Ah gila”. Ramai-ramai kami ngedumel. Bagaimana tidak? Yang ditunjuk ibu yang sedang bercocok tanam itu tanjakan. Sudut elevasinya sekitar 50 derajat, sangat miring dan tinggi. Panjangnya sekitar 30 meter. Menuntun sepeda di trek ini mengingatkan saya ketika mendaki Gunung Lawu sewaktu kuliah. Permukaan tanah kering, selebar 1 meter, di sisi kiri jurang dengan pemandangan Gunung Wayang dan Gunung Salak di belakangnya. Sementara Gunung Halimun sudah tertutup bukit, tidak bisa kami nikmati dikala sang surya mulai tenggelam.

Setengah puncak itu adalah pelabuhan terakhir kami. Tempat kami berlabuh, mengabadikan gambar, bercengkrama membahas perjalanan ini. Jarum jam menunjukan pukul 5 sore. Berarti 11 jam perjalanan kami dari Cipeteuy, Kabandungan menuju Gunung Malang, Cikidang. Perjalanan yang dimulai dari sang surya timbul sampai sang surya kembali tenggelam, memang didominasi trek menanjak. Turunan panjang juga tidak boleh dilupakan dalam jelajah ini. Sedikit mengutip sebuah kejuaraan dari sono yang kerap diikuti Tinker Juarez, pembalap Amerika Serikat spesialis endurance, ini adalah jelajah “11 hours from Cipeteuy to Gunung Malang”.