“Wow! Sudah ramai ya,” gumamku. “Wah asyik nih. Banyak teman yang main,” timpal rekanku, Pepi, wartawan Majalah Cycling, yang ternyata baru pertama kali sepedaan di sini. Sabtu pagi itu, saya dan beberapa teman dari Majalah Cycling memang berencana menelusuri jalur offroad, Rindu Alam, di Puncak Bogor, Jawa Barat.
Kepadatan di warung makan berukuran 10 x 7 meter itu sesuai ucapan teman saya lainnya. Sebelum jalan dari tempat kumpul kami di Kebon Nanas, Cawang, Jakarta Selatan, Doni, rekan saya itu menyeletuk kalau rekan-rekan sepeda gunung dari Jalur Jatiasih (JJ), Bekasi, juga bakal main hari ini. Ternyata ucapan Doni itu benar. Bahkan bukan dari JJ saja yang muncul di Rindu Alam. Pesepeda Depok dan Pamulang juga terlihat hadir di situ.
Sebagai penghobi baru sepeda gunung, saya sedikit canggung bermain di offroad. Grogi, ngeri, dan malu, bercampur aduk dengan rasa canggung itu. Bukan apa-apa. Ini pertama kalinya saya bermain sepeda di jaur offroad. Belum lagi jika terjadi apa-apa dengan sepeda yang saya pakai. Bisa-bisa diomeli Sumanjaya, teman saya yang sudah ikhlas meminjami sepeda merek Schwin ini.
Jarum jam di tangan tepat menunjuk angka 8. Inilah waktunya memulai perjalanan. “Ayo jalan,” ajak Doni, komando perjalanan hari itu. Satu persatu para pesepada menuruni turunan berbatu berjarak sekitar 7 meter. Saya berbisik ke Pepi, “Kita terakhir saja. Biar kalau jatuh tidak ada yang menertawakan hee..hee...”
Nyatanya, memang saya yang terakhir turun. Namun, di bawah, rekan saya malah menunggu. “Ayo turun,” teriak teman-teman. Maksud hati ingin tidak dilihatin, eh malah ditonton rekan “sekompi”. Saya pun memberanikan turun. Tapi sebelum menuruni jalur yang didominasi batu itu, Doni seketika teriak, “Pantatnya di belakang sadel, biar tidak terguling.” “Oke,” jawabku. Saya menuruti anjuran Doni itu, salah seorang rekan yang sering bermain di jalur offroad. Anjuran yang bermanfaat. Saya bisa menuruni tanpa jatuh. Tapi kemampuan turun itu, tentunya saya imbangi dengan menekan rem terlalu kencang. Sehingga bergulirnya roda menjadi pelan. “Ah gak keren turunnya,” ejek Hendrik rekan saya lainnya, yang aktif ikut kejuaraan downhill.
Pandangan mata sejauh 200 meter hanya terlihat bentangan kebun teh dan pohon menjulang tinggi. Di permukaan, hiasan batu-batu kecil yang tersebar di tanah, menjadi “sarapan” ban Kenda saya. Sepanjang itu, jalur masih selebar 2 meter. Saya melalui jalur kiri sesempit setengah meter. Jalur kanan dilalui Pepi, yang hari itu menunggangi sepeda Scoot Voltage. Kedua jalur ini dipisahkan rerumputan seukuran mata kaki.
Di sini kecepatan sepeda saya masih pelan. Karena saya masih menyesuaikan diri dengan
Toh, ada rasa kenikmatan sendiri buat saya menggenjot pedal secara perlahan. Setidaknya saya benar-benar merasakan sejuknya udara puncak. Memandang
“Woi, lama banget genjotnya,” teriak Hendrik, yang terkenal paling suka memanas-manasi rekan-rekan untuk kebut-kebutan. Bersama rekan lainnya, ia istirahat di bawah sebuah pohon. “Lama banget, Ngapain aja?” tanya Johan sambil memegang bidon merek Polygon. “He..hee..hee..sorry, maklum newbie,” jawabku. Saya dan Pepi pun ikut istirahat. Saya mengambil air di bidon yang menempel di downtube dan segera meminumnya.
Jarum jam saya menunjukan pukul 08.45. Berarti sudah 45 menit perjalanan yang saya tempuh. Sedangkan cyclo di handlebars tertera angka 12, menandakan sudah 12 kilometer jarak tempuh saya. “12 kilometer dalam 45 menit. Lama apa cepat ya?” tanyaku dalam hati.
Perjalanan dilanjutkan menuju Taman Safari, tujuan peristirahatan kami. Di depan daerah wisata itu pasti jejeran rumah makan dengan lauk pauknya yang hangat sudah menanti. Sepeda Schwin ini pun saya genjot kembali. Shifter saya geser ke posisi gear normal, karena jalannya cenderung datar. Belum sampai kaki ini menikmati putaran pedal secara santai, Hendrik langsung teriak. “Ayo yang cepat genjotnya”.
Seketika saya langsung menambah kecepatan sepeda. Shifter saya tekan ke gear berat agar kecepatan sepeda bertambah. Dalam hati, rasa takut ini terus membayangi. Menyusup ke relung hati. Saya tidak tahu jalur apa yang bakal saya temui nanti. Lubang, batu besar, akar pohon, atau rumput. Item itu terus memenuhi seisi otak saya. “Bagaimana kalau tiba-tiba ada lubang atau batu besar di depan saya,” gumamku. Apakah dengan kemampuan handling saya yang biasa saja bisa menghindari itu semua. “Ah masa bodoh. Asal tidak terperosok ke jurang saja,” pikirku.
Tangan saya terus bergetar deras begitu speed sepeda bertambah. Jalan yang rusak telah memaksa telapak tangan memegang erat grip sepeda. Hendrik yang berada di depan saya, sudah hampir saya salip. Doni, Anggoro, Reinaldo dan Johan berada di depan Hendrik. Sedangkan Pepi berada di belakang. Ia membuntuti saya.
Otot-otot kaki terus saya paksa berkerja. Tujuannya, untuk mendahului Hendrik. Namun ia terus menggenjot dengan cepat menghindari kejaran saya. Melihat Hendrik mempercepat lajunya, saya pun makin bernafsu mengejar. “Lihat saja, gw kepot deh dia!”
Sepeda saya pun mendekatinya. Tinggal satu meter lagi saya menyamai dan menyalipnya. Jalur tanah yang saya lewati di sini masih selebar 3 meter. Peluang mendahului Hendrik itu akhirnya datang. Saya menjejaki jalur kanan dan Hendrik kiri. Saat posisi sama, saya pun berinisiatif menyeberangi rerumputan yang menjadi pemisah kami dan menduduki jalur sepedanya.
Hup, saya pun melompati rerumputan sependek mata kaki itu, dan gubrak, saya terlempar dari sepeda, dan jatuh. Kepala yang terlindungi helm, menabrak tanah di sisi kiri. Saya hanya terdiam sejenak. Hendrik memanggil-panggil saya. “Lho tidak apa-apa,” tanyanya. Saya diam. Rasanya lebih enak tiduran dulu di tanah dengan posisi badan tengkurap dari pada menjawab suara Hendrik yang berlogat betawi itu. Selang beberapa detik, disekililing saya sudah berdiri: Johan, Pepi, Anggoro, Reinaldo dan Doni.
“Lho gak apa-apa”, tanya mereka mengkawatirkan saya. Dengan muka berlepotan tanah, saya menjawab, “Laki-laki banget jatuhnya.” Ha..haa..haaa..haa..suara itu serempak keluar dari mulut rekan-rekan saya. “Lagi coba-coba balap gw,” Hendrik menyombongkan diri. “Ngehe lho,” timpalku. Doni mengeluarkan kotak obat. Ia memberi Betadine dan Handyplast agar saya mengobati luka dilutut. Kami semua istirahat sejenak di tengah trek, yang bagian kirinya adalah deretan pohon besar.
“Kita istirahat di Taman Safari saja nanti,” ajak Doni. “Paling sekitar 500 meter lagi,” tambahnya. Perjalanan bersepeda dilanjutkan. Namun kali ini kami mengenjot santai. Tidak ada lagi ajang kebut-kebutan. Cukup insiden itu saya yang mengalami saja.
Di sepanjang perjalan kami mengiringi dengan canda tawa. Apalagi kalau bukan membahas proses terjatuhnya saya. “Haa..haa..di kantor bakal di kontrak 6 bulan lho,” kata Hendrik. “Maksudnya,” tanyaku heran. “Dikontrak buat di ceng-in anak-anak selama 6 bulan haa..haa..,” jawab Hendrik tertawa puas. “Sial.”
Saya tidak menghiraukan ledekan rekan-rekan di perjalanan. Hampir di sepanjang jalur kebun teh, saya cuma senyum-senyum saja. Rombongan pejalan kaki (tea walk) yang berada di depan kami tiba-tiba menyapa ramah. “Pagi,” sapa salah satu pejalan, seorang bapak tua, berusia sekitar 60-an. “Temannya sudah di depan tuh,” celetuk ibu tua yang berada disamping bapak tua itu, memberitahu pesepeda dari Jalur Jatiasih, Pamulang dan Depok yang bergerak duluan di depan kami. “Pagi. Iya, makasih bu,” jawabku membalas sopan sapaan kedua orang itu.
Kedua kaki terus naik turun mengenjot sepeda. Sampai akhirnya kami sampai di jalur onroad di sekitar Gunung Mas. Dan sengaja kami teruskan untuk menuju Taman Safari, tempat peristirahatan. Sepeda tetap bergerak lambat. Suara hembusan nafas bersautan, menandakan betapa lelahnya kami sampai jalur onroad itu. Mata menatap cyclo, alat penunjuk jarak, yang terikat di handlebars saya. “22”. Angka itu tertera di cyclo, menandakan sudah 22 kilometer perjalanan yang kami tempuh sampai saat ini.
Dari sebuah warung nasi, yang terletak di samping Balai Penelitian Hewan Taman Safari, rekan pesepeda dari Jalur Jatiasih menyapa kami. “Mampir dulu,” ajak mereka. “Iya om, tanggung mau istirahat makan di depan Taman Safari saja,”jawab rekan saya Doni sambil jalan. “sip, hati-hati om,” jawab mereka kembali.
Usai melewati warung nasi tadi, sekitar 100 meter, “surga” terlihat indah di depan. Apalagi kalau bukan turunan. Jalur idaman semua pesepeda. Walaupun jaraknya saya taksir hanya 20 meter, jalur ini saya kira cukup mengobati rasa linu di kaki. Setidaknya, otot kaki bisa diistirahatkan sejenak. Namun sialnya, bukan jalan turun lurus yang dipilih rekan-rekan, melainkan tikungan kiri yang jadi pilihan. “Busyet deh! Gw dah senang saja jalannya turunan panjang,” ujarku menggerutu. “Tahu-tahunya malah belok di pertigaan.”
Lebih sialnya, jalan yang membelok kiri adalah musuh saya. Tanjakan. Ya!, tanjakan panjang sejauh 17 meter. Tidak ada pilihan lain. Saya turun dari sepeda dan memulai aksi “memalukan”, tuntun-tuntun bike. Selain saya, aksi ini dilakukan Pepi, Reinaldo dan Johan. Doni, Anggoro dan Hendrik tetap memaksakan genjot. “Climber nanjak,” ledek Johan menyikapi aksi Doni, Anggoro dan Hendrik itu.
Depan tanjakan, jalan terpecah menjadi dua. Arah yang kami pilih adalah jalur kanan. Saat mau belok, Anggoro yang berada di belakang Doni dan Hendrik, terserempet motor yang kebut dari arah kiri kami. “Gedubrak.” Suara itu terdengar kencang. Anggoro, 30 tahun, lelaki asal
Pengemudi motor, bapak berusia sekitar 40 tahun, ikut jatuh dan tertiban motornya. Dari tubuhnya tidak terlihat luka serius. “Maaf mas,” sesal pengemudi motor itu. “Saya buru-buru mau menghantar kue ke toko.” Semua kue yang ada di box belakang berceceran ke jalan. Iba. Saya hanya menatap bingung. Johan dan Pepi menolong Anggoro. Hendrik, Reinaldo dan Doni marah-marah menyalahkan pengemudi motor itu. Tampang melas dan pucat tidak mengurangi kemarahan rekan saya itu. Saya sendiri hanya diam. Sepeda Wheeler milik Anggoro saya angkat dan pindahkan ke pinggir jalan. Jalan damai antara rekan saya dan pengemudi usai. Tidak ada ganti rugi.
Untungnya sepeda warna hitam Anggoro tidak rusak parah. Hingga masih bisa dinaiki sampai depan Taman Safari. Kami pun mengubah rencana. Bila dalam perencanaan kami istirahat makan di Taman Safari, lalu melanjutkan sampai ke Ciawi, maka rencana itu kami ganti. Taman Safari menjadi tujuan akhir perjalanan kami. Dari situ, kami akan menyewa angkutan umum untuk menghantar ke bawah, tempat kendaraan kami parkir.
Lelah, letih, pegal, luka dan sebuah pengalaman baru bersepeda di offroad mengisi lembaran saya. Sudah berani melaju cepat di offroad? Berani. Saya rasa pada babak kedua nanti bermain di jalur offroad, saya sudah berani kebut-kebutan. Kuncinya bermain di offroad menurut saya ada dua: yakin dan berani. Yakin kalo Anda bisa menyepeda di offroad. Berani menghadapi rintangan yang ada di sepanjak trek offroad.
* Ini tulisan fiksi dan pengisi waktu luang penulis saja. Bila ada kesamaan nama dan cerita, itu cuma kebetulan saja.
No comments:
Post a Comment