Nama Dadi Nurcahyadi niscaya tidak asing lagi di telinga penggemar olahraga balap sepeda gunung Indonesia. Ia atlet nasional yang turut menyumbang emas di Sea Games Filipina tahun 2005. Saya mengenal Dadi sejak awal tahun 2008 di Jalur Pipa Gas, Tengerang, saat berlangsungnya Trend Mountain Bike yang diadakan Polygon. Kemarin, 26 Juli 2008, saya kembali bertemu dirinya di daerah asalnya Sumedang, Jawa Barat. Ia bersedia menemani saya menyusuri jalur sepeda offroad di Sumedang. Namun tulisan ini tidak membahas perjalanan bersepeda saya di kota itu. Tulisan ini lebih mengarah ke sosok pribadi Dadi Nurcahyadi, sampai bisa "terjerumus" menjadi atlet.
Kisah ini bermula tahun 1997, saat dimana bocah 14 tahun itu mempunyai satu unit sepeda Bicycle Motorcross (BMX). Sepeda itu dibeli dari temannya seharga 150 ribu, harga yang lumayan mahal buat murid kelas 2 SMP. Semenjak itu, lelaki kelahiran Sumedang, 13 September 1983, itu mulai aktif mengikuti lomba balapan sepeda, khususnya sepeda BMX. Bocah itu Dadi Nurcahyadi, atlet nasional balap sepeda gunung cross country.
Sedari kecil, tidak pernah terbesit dalam pikirannya jadi atlet balap sepeda. Kalau pun akhirnya menyelami dunia balap sepeda, itu karena pengaruh temannya, Atep Rupee. “Atep itu teman sebangku saya. Dia yang mengenalkan saya dengan dunia BMX,” kata Dadi ditemui di Sumedang, Jawa Barat.
Dari Atep, Dadi sering diajak berlatih BMX. Atep pula yang mengenalkannya kepada komunitas BMX di Sumedang. Tahun 1998, Dadi bergabung dengan tim Oaks (Organisasi Anak Kreatif Sumedang). Bersama Atep, Redianto dan Agus Suherlan (sekarang atlet downhill Jawa Barat), ia rutin mengikuti balapan BMX lokal.
Prestasi di balapan BMX banyak ia torehkan. Namun dari sekian prestasi, pengagum Julien Absalon ini, bangga bisa juara di event Kencana MTB/BMX Championship 2001. Di kejuaraan itu ia meraih juara pertama kategori junior. Lawan-lawannya antara lain Nurwarsito dan Chandra Purnamawan.
Membawa pulang piala dan hadiah uang dari event itu, ternyata tidak membuat orang tuanya senang. “Sewaktu masih sekolah, orang tua lebih suka saya menseriusi pendidikan,” kata pemakai sepeda Polygon Cozmic RX 3.0 ini.
Ketidaksukaan orang tuanya terhadap pilihan Dadi mengeluti olahraga balap sepeda perlahan luntur. Itu ketika sang anak pindah ke sepeda gunung tahun 2002. “Mungkin uang hadiah di balapan sepeda gunung lebih besar kali,” ujarnya sambil tersenyum.
Dadi pindah ke sepeda gunung atau bahasa sononya mountain bike (MTB) berkat ajakan Helmi Zen Oesman, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Umum Koni Sumedang. Saat itu Helmi sering melihat Dadi ikut lomba balapan BMX. Helmi pun menyarankan Dadi mencoba MTB dan meminjamkan sepeda MTB.
Sejak itu ia giat berlatih. Peluang terjun ke pentas yang lebih tinggi pun menimpanya. Ia dipanggil Koni Sumedang untuk memperkuat kontingen Sumedang di Pekan Olahraga Daerah (Porda) di Indramayu—sekarang Pekan Olahraga Provinsi (Porprov).
Tidak disangka, baru ikut Porda, Dadi langsung memperoleh emas. Hasil ini mengagumkan mengingat ia mesti melawan atlet senior macam Oki Respati dan Ferry Sonic. “Tidak menyangka saja bisa menang,” ujar ayah dua anak ini.
Selepas Porda, keinginan Dadi untuk melangkah jadi atlet nasional kian terbuka lebar. Koni Jawa Barat memanggilnya untuk ikut Pekan Olahraga Nasional 2004 di Palembang. Kali ini, lawan yang bakal ditemuinya adalah atlet nasional dan atlet kebanggan daerah. Sekali lagi, ia mampu berbuat yang terbaik, dan berhasil meraih perak. Ia hanya kalah dari Sugianto Gimo.
Perak PON yang ia raih menjadi tiket masuk pintu Pelatihan Nasional (Pelatnas). Ia dipanggil masuk pelatnas ketika ada kejuaraan Sea Games Filipina tahun 2005. Di Sea Games itu pelatih tidak memasang target medali kepada dirinya atau rekannya: Usman Ali dan Bandi Sugito. Namun, di luar dugaan, ia malah merebut medali emas.
“Bisa dapat emas saat itu kaget juga. Mungkin karena saya bertanding lepas dan tidak ada beban,” kata Dadi. “Semula memang pelatih hanya memerintahkan kita untuk bertanding saja. Apalagi pembalap
Lepas Sea Games itu, namanya mulai diperhitungkan pembalap lawan. Dari yang bukan apa-apa, jadi pembalap unggulan. Situasi itu jelas memberatkan dirinya. Kenyataan itu pun menimpanya di Sea Games
“Kemarin (Sea Games Thailand) lawan sudah mengenal saya. Jadinya susah buat saya untuk juara,” kata sahabat dekat Agus Suherlan ini.
Contoh lainnya adalah saat ikut kejuaraan
“Tawachai itu tahunya saya. Kemanapun saya pergi, ia pasti mengejar saya. Ini juga bagian dari strategi tim,” ujarnya.
Nama Dadi sudah “melegenda” di telinga penggemar sepeda gunung. Partisipasinya di pelbagai kejuaraan kerap mengundang pandangan penonton. Staminanya kuat dan tekniknya mumpuni. Sederet prestasi banyak lahir dari kayuhannya. Tahun 2008, ia mengantongi juara dua Mekarsari Mountain Bike National Challenge, juara pertama Polygon Jakarta Challenge, dan emas PON ke-17 di Kalimantan Timur.
Dadi bisa juara berkat latihan keras. Kalau tidak masuk pemusatan latihan, ia selalu berlatih sendiri. Jatahnya enam kali seminggu. Tiga hari latihan mengayuh di
Latihan nge-lap dilakukan Dadi di trek Kereumbi, Sumedang. Ini trek temuannya. Panjangnya 7 kilometer. Porsinya tujuh kali memutari lap ini tanpa berhenti. Konturnya bervariasi: makadam, tanah, dan aspal yang agak kasar. Cycling pernah mencoba trek Kareumbi bersama Dadi, yang banyak memiliki tanjakan panjang. “Saya menyukai trek yang banyak tanjakan panjangnya,” katanya. “Kalau nemu trek seperti itu di lomba cross country, wah sudah, itu pasti milik saya,” Dadi menambahkan.
Kalau dianalogikan ke disiplin road, Dadi adalah raja tanjakan. Kini, penguasa tanjakan itu terus berburu gelar di pelbagai event cross country lokal maupun internasional. Selagi kakinya bisa mengayuh, ia akan tetap berkarir di dunia balap sepeda gunung.