Wednesday, July 21, 2010
Infotainment
Oleh Diyah Kusumawardhani, Anggota milis Jurnalisme
Empat tahun silam, tepatnya saat Musyawarah Nasional (Munas Alim Ulama) di Surabaya pada 27-30 Juli 2010, para kiai NU mengeluarkan fatwa larangan menonton tayangan infotainment. Apa sebab? Para kiai dari beberapa pesantren ternyata gelisah dengan pemberitaan infotainment yang berisikan gosip serta persoalan pribadi dan keluarga para artis.
Dorongan inilah yang menurut Hasyim Muzadi yang menjabat sebagai Ketua Umum PBNU saat itu menjadi stimulan agar tayangan infotainment diangkat sebagai tema penting dalam munas tersebut.
Salah satu Ketua PBNU saat itu Said Aqil Siradj juga merisaukan tayangan infotainment ini. Iapun berkisah pernah menyaksikan berita infotainment tentang seorang artis yang diberitakan suaminya berselingkuh.
“Ini kan sudah tidak benar, mencampuri urusan keluarga orang lain,” ujarnya seperti dikutip dari website NU Online.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah menyatakan dukungannya terhadap fatwa haram tayangan infotainment yang dikeluarkan PBNU ini; meski MUI tidak akan mengeluarkan fatwa serupa. Karena menurut Ketua MUI Pusat Amidhan seperti dinukil dari Okezone, tanpa dikeluarkannya fatwa, gosip atau ghibah itu memang sudah haram.
Konten dalam tayangan infotainment memang tidak jauh dari aktivitas bergunjing. Hampir mayoritas kontennya menyampaikan aib orang lain, fitnah, adu domba, perselingkuhan sampai skandal seks seperti yang banyak termuat dalam infotainment pun akhirnya dikategorikan para kiai dan ulama sebagai ghibah. Bukan saja narasi yang dibacakan presenternya yang penuh opini, gambarnya pun kerap menunjukkan hal yang sama.
Faris Khoirul Anam dalam bukunya Fikih Jurnalistik mengutip sebuah hadits shahih Muslim. Rasulullah Saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah kalian tahu apa ghibah itu?” Para sahabat menjawab,“Allah dan Rasulnya lebih tahu.”
Lalu dijelaskan oleh nabi, “(Ghibah adalah) menyebut sesuatu yang ada pada saudaramu, yang bisa membuat ia tidak suka.” Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana kalau yang aku sebut memang ada benar dalam saudaraku?” Nabi menjawab, “Kalau memang ada, berarti kau telah menggunjingnya. Kalau tidak ada, berarti kau telah memfitnahnya.”
Atas dasar hadits inilah Faris – yang mengambil skripsi berjudul Fiqhu
al-Shahafah (Fikih Jurnalistik) di Fakultas Syari’ah al-Ahgaff University, Hadhramaut, Yaman – mengkategorikan infotainment sebagai tayangan ghibah. Karena menurutnya, menggunjing dalam praktik tidak hanya terbatas dengan menggunakan lisan.
Menggunjing dengan lisan diharamkan karena mengandung unsur ‘memahamkan’ orang tentang kekurangan orang lain. Karena itu, ghibah bisa berupa ucapan, isyarat, tulisan, gerakan, dan setiap perbuatan yang bisa diketahui maksudnya.
Beberapa waktu lalu digelar juga rapat dengar pendapat (RDP) Komisi I DPR RI dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers yang salah satu bahasannya, apakah infotainment pas dikategorikan sebagai tayangan faktual dan sejajar dengan program jurnalistik. Karena menurut KPI, ada 400 aduan masyarakat ke KPI dan 31%-nya soal infotainment. Bahkan pada Juni 2010, 90% aduan yang masuk ke KPI adalah komplain atas tayangan infotainment.
RDP tersebut dibuka TB Hasanudin yang mengutip disertasi doktor berjudul “Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia: Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment” oleh Mulharnetti Syas. Kesimpulan dari penelitian ilmiah tersebut menyebutkan bahwa infotainment bukan produk jurnalistik, karena dalam prosesnya pekerja infotainment tidak menjalankan kaidah jurnalistik.
"Program infotainment menjadi produk budaya populer dan berbentuk program gosip yang tidak mematuhi kode etik jurnalistik," ujar Ketua Jurusan Ilmu Jurnalistik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta itu.
Selain itu, infotainment disinyalir juga tidak sesuai dengan beberapa poin dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) keluaran KPI dan beberapa pasal di Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Dewan Pers (Pasal 1, 2, 3, 4, 6, 9).
Inilah yang kemudian membuat Dewan Pers akhirnya bersepakat dengan KPI dan Komisi I DPR RI untuk me-non faktual-kan tayangan infotainment.
Secara jenis tayangan, infotainment hanyalah sebuah gaya penyajian berita atau informasi yang menggunakan metode hiburan (entertainment). Hal ini hanyalah sebuah cara untuk mengemas informasi agar lebih mudah dipahami masyarakat dengan melepaskan imej formal dan kaku dari sebuah berita atau informasi.
Namun yang selalu menjadi kontroversi adalah konten dari infotainment yang berjaya diatas aib dan keburukan orang lain. Demi rating dan iklan, kehidupan orang lain pun
diumbar. Wallahua’lam. (Tulisan ini dari Milis Jurnalisme)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment