Pada 10 Agustus,
Polisi menulis di slip merah, sidang dilaksanakan 26 Agustus. Saya tidak bisa datang. Tugas kantor lebih penting pada hari itu. Besoknya baru saya sempatkan datang ke Pengadilan Negeri (PN) Depok.
Pertama menginjakkan kaki di PN, seorang lelaki menanyakan keperluan saya. Ketika tahu maksud saya, ia menawarkan membantu. Saya menolak. Saya bisa mengurus sendiri. Saya masuk pintu utama.
Tidak lama petugas itu datang. “Kena 50 ribu,” ujarnya.” Wow, sudah naik ya,” kataku. Karena sekitar 6 bulan lalu, denda melanggar lampu merah, 30 ribu. Saya ketilang di Otista, Cawang, Jakarta Timur. Akhirnya saya putuskan bertemu langsung petugas yang mengurusi bagian
Saya disuruh masuk ke ruangan.
Temannya tiba-tiba berujar, di Bekasi Anda bisa kena 70 ribu. “Oh jadi setiap pengadilan punya tarif yang beda ya,” kataku. Lelaki pertama menjelaskan, itu karena Anda tidak ikut sidang, kalau Anda datang kemarin mungkin dendanya 35 ribu atau 30 ribu. Padahal sewaktu di PN Jak Tim saya juga tidak ikut sidang.
Lalu mata saya menatap sebuah kertas berwarna biru (slip biru) di meja petugas itu. “Pak slip biru ini masih ada tidak sih?” kataku. Petugas itu menjawab, ada. “Kalau Anda dikasih slip biru, bayar dendanya di bank.” (polisi dan petugas pengadilan tidak klop). “Oh gitu ya pak,” kataku.
Akhirnya saya bayar denda 40 ribu. Mudah-mudahan itu bisa bermanfaat buat pembangunan Kota Depok yang ada beberapa titik ruas jalan masih rusak, seperti jalan masuk menuju Depok 2 Tengah dari jalan Juanda.
Saran saya, begitu kena tilang dan Anda mengaku salah, mintalah slip biru. Karena itu masih ada. Anda mungkin lebih ikhlas kalau uang Anda itu buat kepentingan dan pembangunan negara. Jadi bayarlah denda ke "wadah" yang benar. Di Bank, Kantor Polisi atau Pengadilan Negeri. (Ilustrasi mafatihul.files.wordpress.com)
No comments:
Post a Comment