Foto-Foto: Nirfan Rifki
Sedikit mengutip nama sebuah kejuaraan endurance, 12 or 24 hours Adrenalin, jelajah kali ini sedikit menyerupai. Perjalanan kami adalah 11 hours adrenaline yang didominasi super tanjakan.
Panas, terik matahari menyengat tubuh. Pepohonan di sisi kiri tidak bisa menghilangkan sengatan sang surya. Kepala hanya menunduk. Tidak berani saya menatap jauh ke depan. Yang saya perhatikan cuma jalan yang “ditanami” batu kali. Lebarnya sekitar 2 meter dengan sisi kiri kanannya permukaan tanah. Kontur tanah kering dan keras ini saya manfaatkan buat pijakan kaki. Sedangkan yang jalan berbatu saya gunakan untuk meletakan ban sepeda. Perlahan-lahan, langkah demi langkah, sekuat tenaga yang masih tersisa di dalam tubuh, saya keluarkan buat mendorong sepeda.
Setiap 10 meter saya berhenti. Mengambil air putih di bidon (botol minuman) yang tercantol di down tube sepeda. Dua tegukan air, melepas helm sepeda, lalu menyiram air di kepala, sedikit menolong rasa lelah dan sengatan matahari. Melongok ke belakang, Pepi Novri, rekan jelajah saya bersusah payah mendorong sepeda “panci”-nya. Sepeda jenis all mountain itu ia paksa dorong.
Sesekali saya mencuri pandang ke arah depan jalan, astaga, tanjakan ini masih panjang. Padahal saya dan rekan: Nirfan Rifki, Dhoni Bima, Hendrik, dan Pepi Novri, sudah menuntun sepeda sejauh 100 meter. Walaupun kami sering bersepeda, jelajah berkali-kali, medan tanjakan yang dilalui kali ini sangat sulit dan panjang. Saya yang memakai sepeda jenis cross country hard tail, dan Dhoni memakai sepeda dirt jump, sudah berusaha mengayuh sepeda di awal tanjakan. Namun, sekejap daya tahan kaki melemah. Berkali-kali ban ngesot, tidak bersahabat dengan permukaan berbatuan tajam.
Ben Kenda Kinetic berukuran 26 x 2.10 yang saya pakai, tidak bercengkerama dengan baik. Licin. Yaa, tentu saja, karena semalam Kampung Ciaul, Desa Mekarjaya, Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat, tersiram air hujan. Yang kontur tanahnya lembek kian becek, yang keras sudah mengering terkena panas matahari.
Selama menuntun sepeda tidak jarang keluar sumpah serapah dari teman. “Ah, gila,” gerutu Hendrik, ekstra lelah, akibat mendorong sepeda downhill yang ia pakai pada jelajah ini. “Parah,” ujar Pepi singkat. Seolah mulutnya terkunci, tidak dapat mengeluarkan kalimat panjang. Bahkan Nirfan, penasehat dan guru kami perihal teknis sepeda gunung, berujar saat istirahat, kalau hidungnya tidak bisa mengeluarkan nafas. Tersendat. Mau tidak mau mulutnya menganga, buat membuang nafas.
Ini medan super tanjakan. Ini pendakian. Mungkin sedikit sama dengan satu etape pegunungan Tour de France, L,Alpe d Huez, yang memiliki ketinggian sekitar 1000 meter di atas permukaan laut. Namun, tentunya yang kami lalui tidak setinggi itu. Tapi treknya yang nanjak mulu. Edan, sinting, gila. Dalam hati saya menggerutu, “Ini mendaki gunung apa main sepeda.”
Padahal medan tanjakan ini satu dari puluhan tanjakan yang kamu lalui dalam perjalanan jelajah dari Desa Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat menuju Desa Gunung Malang, Cikidang, Sukabumi, Jabar. Masih banyak tanjakan-tanjakan lain yang menguras tenaga, seperti halnya pendaki yang sedang naik gunung. Namun, yang kami jalani lebih berat. Daypack berisi perlengkapan individual: baju, celana, pompa, logistik, rain coat, plesit, dan trangia, sama dengan isi tas carrier pendaki. Bedanya, beban kami ditambah dengan mendorong sebuah sepeda gunung.
Dari puluhan medan tanjakan, mungkin satu atau tiga medan bisa saya lahap dengan mengayuh sepeda. Namun, banyak pula yang mengibarkan bendera putih, alias menyerah, dan kesal harus tuntun-tuntun bike (TTB). Seperti tanjakan di Kampung Sorogoh, Desa Mekarjaya, Kabandungan, Sukabumi. Dalam perjalanan menuju kampung berikutnya, yakni Kp.Cikurutuk, jalan berbatuan tajam, dihiasi basahan air hujan, saya tidak bisa mengayuh maksimal. Meskipun gear sepeda saya tempatkan ke posisi teringan, tetap saja ban sepeda tidak mencengkram baik. Akibatnya, roda ban cuma spin (memutar di tempat) saja.
Dari Cikurutuk menuju Kp.Lemah Duhur, tanjakan sinting kembali saya temui. “Busyet deh. Ini benar sinting tanjakannya,” ujar saya, menghadap Pepi yang berada di belakang. “Iya. Ini sih lebih parah dari jelajah sebelumnya,” komentar Pepi, yang mengenakan helm dirtlid, pelindung kepala buat permainan sepeda dirt jump.
Selama mendorong sepeda di kampung ini, menemui tikungan patah, saya dan teman berharap, setelah itu jalan datar atau turunan. Agar kami bisa mengistirahatkan kaki barang sejenak. Seperti biasa, setiap menemui medan ngehe, kepala saya tundukan. Kemudian sejenak mendengak, mengintip jalan ke depan, ada tikungan patah. Langkah demi langkah, tubuh berjalan lunglai, berharap menemui turunan, jalan datar, atau sebuah warung makan yang menyediakan minuman dingin nan segar. Namun, saat kepala saya mendengak, melongok setelah akan membelok, astagfirullah, tanjakan lagi.
Jarak yang saya lalui dari awal menanjak hingga menemui medan datar, sejauh 500 meter. Sepanjang itu kami TTB. Sinting. Beragam kata dumelan kerap keluar di mulut. Teguran ramah penduduk yang lalu lalang di jalan itu kami jawab dengan singkat. Sekali saya menanyakan kondisi jalan berikutnya. “masih nanjak mas,” kata penduduk yang lewat, seorang lelaki setengah baya berpakaian pegawai negeri sipil yang hendak ke kantor kelurahan untuk membagikan uang Bantuan Langsung Tunai (BLT).
“Merata juga pembagian bantuan uang dari pemerintah dampak kenaikan BBM akhir pekan lalu,” gumamku dalam hati. Karena sepanjang saya melewati rumah penduduk Kecamatan Kabandungan, rumah yang berdiri terlihat sederhana. Panjang rumah tidak lebih dari 7 meter. Bahkan guna mencari warung yang menyediakan minuman dingin sulit kami temui. Anak-anak kecil berseragam merah putih yang hendak menuju sekolah hanya mengenakan sendal jepit.
Hendrik, rekan saya yang jalan lebih dahulu dan beristirahat sejenak di sebuah sekolah dasar, heran. Satu persatu murid sekolah itu bersalaman dengannya. Sopan, sederhana dan sedikit norak kala melihat sepeda kami. “wuiih ada rem cakramnya,” celetuk seorang bocah lanang berkulit hitam, yang saya taksir berusia 6-7 tahun. Terkadang kerumunan bocah itu berteriak, “balap sepeda.”
Pandangan bocah itu terus tertuju ke kami. Meskipun kami sudah melintas jauh dari kerumunan bocah itu, pandangannya tetap tajam. Walaupun jauh, kami sengaja menoleh ke arah kerumunan bocah itu. Karena Nirfan, selaku fotografer, masih berada diantara bocah itu, guna mengabadikan kami dengan latar depan mereka. Kalau Nirfan ingin mengabadikan perjalanan ini, berarti itu kesempatan kami buat foto sesion dan istirahat. Tidak lama, namun lumayan buat mengusir rasa letih.
Tanjakan panjang terjadang bikin kami jengkel. Perjalanan menuju Kp Lemah Duhur itu menyiksa tangan dan kaki kami. Mending kalau kami berkali-kali ketemu jalan datar, hingga bisa beristirahat dan mengayuh sepeda. Perjalanan ke Lemah Duhur itu menyisakan kebencian mendalam dalam diri. Penuh dendam dan hanya bisa dihilangkan dengan sebuah minuman segar dingin. Namun, apa mau dikata. Warung makan yang kami singgahi tidak menyediakan obat penghilang dahaga itu.
Di meja dan digantungan hanya tersedia kerupuk, kacang, dan makanan kecil lain. Tidak ada minuman bersoda. Beruntung tukang es dawet pikul melintas di hadapan kami. “Ada es-nya bang?” tanya Dhonie. “Ada”, jawabnya si penjual itu. “Akhirnya nemu juga es,” kata Dhonie. Di Kecamatan Kabandungan itu kami memang kesulitan mencari minuman dingin. Bahkan penjual es cendol yang kami temui sebelumnya, tidak menggunakan es. “nama daganganya pun kami plesetkan, kalau itu adalah penjual cendol.”
Cukup lama kami beristirahat di sebuah warung yang dilayani dengan ramah oleh empunya. Lima mangkuk mie rebus beserta nasi melengkapi peristirahat makan siang. Kerumunan bocah kecil berjongkok di depan sepeda kami. Anak perempuan mengenakan jilbab dan anak laki-laki memakai peci menenteng sebuah buku kecil, mengamati sepeda kami. “habis ngaji ya dik? tanya Nirfan. Anak perempuan berusia 6 tahun yang disapa itu hanya senyum lantas lari tanpa menjawab.
Berbagai prilaku yang kami tangkap kala menyapa anak kecil setempat. Ada yang ramah, sopan, pemalu, agresif, dan pendiam. Terkadang ada bocah yang membantu kami mendorong sepeda seusai “menyantap” tanjakan berikutnya. Saya melihat Hendrik menuntun sepeda downhill Fastrax Monocoque AL 7005 dengan dibantu anak kecil. Saya pun kebagian bantuan tenaga anak kecil itu. Namun dengan sopan saya tegur, “tidak usah dik, nanti capai lho.”
Keceriaan anak-anak kecil itu mengikuti kami, mengamati sepeda kami, dan mengomentari sepeda kami, mengisi lembar tulisan jelajah ini. Orang dewasa mendekati kami, menyapa ramah kami dan menawari minuman. Keramahan yang mungkin tidak didapat di ibukota Indonesia. Benar-benar sebuah teguran hangat buat kami dari penduduk yang mayoritas adalah petani. Mereka menamam segala sayuran dan buah, yang kata salah seorang warga Kp.Siren, hasilnya itu dikirim ke Pasar Induk dan Pasar Minggu Jakarta.
Keletihan sudah terlihat disemua kru jelajah termasuk saya. Turunan panjang dan pendek sebisa mungkin kami nikmati. Bahkan trek menurun layaknya permainan sepeda downhill sering ditemui dalam perjalanan sejauh 25 kilometer ini. Yang menikmati tentu saja Hendrik dengan sepeda downhill-nya. Medan berkontur tanah dan batu tajam dilahapnya, seperti halnya ia menyusuri trek downhill Cikole, Bandung, Jabar dalam setiap event yang diikutinya. Demikian pula dengan Pepi yang kerap turun di balapan downhill. Sepeda full suspension pancinya pun sangat pas menuruni turunan curam, membelah pohon bambu dan melintasi perumahan penduduk.
Sebagai obat stres setelah mendaki “gunung” dengan membawa sepeda, turunan itu benar-benar obat mujarab. Kelelahan yang melanda kami spontan hilang, kala menikmati turunan sepanjang 600 meter di Kp.Cilengsir, Desa Ciangkrik. Namun, begitu cepatnya kami menuruni rute itu. Dan sangat disayangkan. Harusnya turunan panjang itu sepantasnya dijadikan pelabuhan terakhir perjalanan ini. Tapi bukan itu kenyataannya. Untuk mencapai Desa Gunung Malang, Cikidang, Sukabumi, kami mesti mendaki.
“Kita lewat sini?” tanya Nirfan kaget. “kata ibu itu, yang ada di belakang Pepi, arah menuju Gunung Malang itu naik bang,” jawan Dhonie. “Ah gila”. Ramai-ramai kami ngedumel. Bagaimana tidak? Yang ditunjuk ibu yang sedang bercocok tanam itu tanjakan. Sudut elevasinya sekitar 50 derajat, sangat miring dan tinggi. Panjangnya sekitar 30 meter. Menuntun sepeda di trek ini mengingatkan saya ketika mendaki Gunung Lawu sewaktu kuliah. Permukaan tanah kering, selebar 1 meter, di sisi kiri jurang dengan pemandangan Gunung Wayang dan Gunung Salak di belakangnya. Sementara Gunung Halimun sudah tertutup bukit, tidak bisa kami nikmati dikala sang surya mulai tenggelam.
Setengah puncak itu adalah pelabuhan terakhir kami. Tempat kami berlabuh, mengabadikan gambar, bercengkrama membahas perjalanan ini. Jarum jam menunjukan pukul 5 sore. Berarti 11 jam perjalanan kami dari Cipeteuy, Kabandungan menuju Gunung Malang, Cikidang. Perjalanan yang dimulai dari sang surya timbul sampai sang surya kembali tenggelam, memang didominasi trek menanjak. Turunan panjang juga tidak boleh dilupakan dalam jelajah ini. Sedikit mengutip sebuah kejuaraan dari sono yang kerap diikuti Tinker Juarez, pembalap Amerika Serikat spesialis endurance, ini adalah jelajah “11 hours from Cipeteuy to Gunung Malang”.